1. Allah SWT
2. Malaikat Jibril As
3. Nabi Muhammad SAW
4. Nabi Khidir As
5. Syekh Sayyid Abdul Aziz bin Mas’ud Ad Dabbagh rh.
6. Syekh Sayyid Abdul Wahab At Taziyyi rh.
7. Syekh Sayyid Ahmad bin Idris Al Maghribi rh.
8. Syekh Sayyid Muhammad bin Ali As Sanusi rh.
9. Syekh Sayyid Muhammad al Mahdi rh.
10. Syekh Sayyid Ahmad Syarif As Sanusi rh.
11. Syekh Akbar Syekh Abdul Fattah rh.
12. Syekh Akbar Syekh Muhammad Dahlan rh.
13. Syekh Akbar Muhammad Daud Dahlan rh.
Salah satu syarat diakuinya suatu thariqah di Indonesia sebagai thariqah yang mu’tabarah (resmi) adalah silsilahnya sampai dengan Rasulullah. Kelihatannya mustahil bahwa pada silsilah ini hanya memiliki 13 rantai mengingat Syekh Abdul Aziez Ad Dabbagh yang hidup pada tahun 1717 M berjumpa dengan Rasulullah SAW yang telah lama wafat. Tetapi bukan suatu hal yang aneh dikalangan perkumpulan sufi terhadap masalah seperti ini, bahkan banyak berbagai periwayatan mengisahkan perjumpaan sufi dan para wali dengan Rasulullah SAW secara yaqazhah (nyata). Misalnya kedua Guru Mursyid dari Syaikh Abd. Wahab Sya’rani (Sy. Ali al Marshafi & Sy. Ibrahim al Matubuli) yang keduanya menerima talqin Thariqat langsung dari Rasulullah.[1][1] Begitu pula Thariqah Naqsyabandiyah yang salah satu silsilah Syaikhnya langsung menyambung kepada Nabi Khidhir As. [2][2]
Syekh Muh. Daud Dahlan (pimpinan Thariqat al Idrisiyyah sekarang) merupakan keturunan kesembilan dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati Cirebon) dan merupakan garis keturunan ke-31 dari Nasab (keturunan) Rasulullah SAW, yang dirincikan sbb.:
1. Siti Fatimah Ra. binti Muhammad SAW
2. Husein as Sibti Ra.
3. Zainal Abidin
4. Muhammad al Baqir
5. Ja’far as Shadiq
6. Qasim al Kamil
7. Muh. Naqib Idris
8. Isa al Bashri
9. Ahmad al Muhajir
10. Ubaidillah
11. Alwi
12. Muhammad
13. Alwi
14. Ali al Ghazam
15. Muhammad
16. Alwi Amr Faqih
17. Abdul Malik
18. Abd. Khannuddin
19. Ahmad Syekh Jalaluddin
20. Jamaluddin al Husaini
21. Ali Nurul ‘Alim
22. Syarif Abdullah
23. Syarif Hidayatullah
24. Pangeran Drajat
25. Atok Larang
26. Bapak Embak
27. Haji Umar
28. Haji Syarif
29. Syekh Akbar Abdul Fattah
30. Syekh Akbar Muhammad Dahlan
31. Syekh Akbar Muhammad Daud Dahlan
Dalam tradisi perguruan, Al Idrisiyyah tidak mengedepankan masalah ‘keturunan Nabi’ atau bukan, sehingga merasa perlu menggunakan istilah ‘Habib’, yang oleh kalangan tertentu senantiasa perlu diungkapkan.[3][3] Meskipun hal tersebut ada manfaatnya, akan tetapi dikhawatirkan dapat menimbulkan kecenderungan melebih-lebihkan status keturunan dengan mengesampingkan pengamalan nilai-nilai ajaran Rasulullah yang sebenarnya. Nilai-nilai kebenaran & kemuliaan itu sendiri tidak bisa dimonopoli oleh sistem keturunan, akan tetapi ‘tawaran Allah’ kepada kita untuk ber-taqwa sebagaimana yang telah difirmankan menjadikan nilai kemuliaan itu dapat dimiliki kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Tidaklah Bilal bin Rabah yang berkulit hitam menjadi rendah dibandingkan Abu Jahal yang memiliki darah keturunan terhormat. Demikian pula dalam sistem peralihan kepemimpinan Thariqat Al Idrisiyyah tidak berdasarkan keturunan, dan bukan berdasarkan suara terbanyak (demokrasi), akan tetapi kesemuanya ditentukan oleh Qudrat & Iradat Allah jua dengan perantara Guru Mursyid kepada RasulNya SAW kepada hambaNya yang terpilih, meski ia merupakan hamba yang paling bodoh sekalipun. Dan bagi Allah Yang Maha Perkasa kesemuanya itu adalah mudah.
[1][1] lihat kitab: Lawaqihul Anwar al Qudsiyyah, Darul Fikr.
[2][2] lihat kitab Khazinatul Asrar.
[3][3] Tidak semua keturunan Rasulullah dikenal dengan sebutan Habib, misalnya para Wali Songo yang bergelar Sunan, atau Ulama-ulama Salaf terdahulu. Penggunaan istilah Habib ini baru dikenal belakangan melalui tradisi istilah yang dikembangkan oleh para Ulama keturunan Rasulullah dari wilayah Hadramaut (Yaman) yang datang ke Asia Tenggara khususnya Indonesia
2. Malaikat Jibril As
3. Nabi Muhammad SAW
4. Nabi Khidir As
5. Syekh Sayyid Abdul Aziz bin Mas’ud Ad Dabbagh rh.
6. Syekh Sayyid Abdul Wahab At Taziyyi rh.
7. Syekh Sayyid Ahmad bin Idris Al Maghribi rh.
8. Syekh Sayyid Muhammad bin Ali As Sanusi rh.
9. Syekh Sayyid Muhammad al Mahdi rh.
10. Syekh Sayyid Ahmad Syarif As Sanusi rh.
11. Syekh Akbar Syekh Abdul Fattah rh.
12. Syekh Akbar Syekh Muhammad Dahlan rh.
13. Syekh Akbar Muhammad Daud Dahlan rh.
Salah satu syarat diakuinya suatu thariqah di Indonesia sebagai thariqah yang mu’tabarah (resmi) adalah silsilahnya sampai dengan Rasulullah. Kelihatannya mustahil bahwa pada silsilah ini hanya memiliki 13 rantai mengingat Syekh Abdul Aziez Ad Dabbagh yang hidup pada tahun 1717 M berjumpa dengan Rasulullah SAW yang telah lama wafat. Tetapi bukan suatu hal yang aneh dikalangan perkumpulan sufi terhadap masalah seperti ini, bahkan banyak berbagai periwayatan mengisahkan perjumpaan sufi dan para wali dengan Rasulullah SAW secara yaqazhah (nyata). Misalnya kedua Guru Mursyid dari Syaikh Abd. Wahab Sya’rani (Sy. Ali al Marshafi & Sy. Ibrahim al Matubuli) yang keduanya menerima talqin Thariqat langsung dari Rasulullah.[1][1] Begitu pula Thariqah Naqsyabandiyah yang salah satu silsilah Syaikhnya langsung menyambung kepada Nabi Khidhir As. [2][2]
Syekh Muh. Daud Dahlan (pimpinan Thariqat al Idrisiyyah sekarang) merupakan keturunan kesembilan dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati Cirebon) dan merupakan garis keturunan ke-31 dari Nasab (keturunan) Rasulullah SAW, yang dirincikan sbb.:
1. Siti Fatimah Ra. binti Muhammad SAW
2. Husein as Sibti Ra.
3. Zainal Abidin
4. Muhammad al Baqir
5. Ja’far as Shadiq
6. Qasim al Kamil
7. Muh. Naqib Idris
8. Isa al Bashri
9. Ahmad al Muhajir
10. Ubaidillah
11. Alwi
12. Muhammad
13. Alwi
14. Ali al Ghazam
15. Muhammad
16. Alwi Amr Faqih
17. Abdul Malik
18. Abd. Khannuddin
19. Ahmad Syekh Jalaluddin
20. Jamaluddin al Husaini
21. Ali Nurul ‘Alim
22. Syarif Abdullah
23. Syarif Hidayatullah
24. Pangeran Drajat
25. Atok Larang
26. Bapak Embak
27. Haji Umar
28. Haji Syarif
29. Syekh Akbar Abdul Fattah
30. Syekh Akbar Muhammad Dahlan
31. Syekh Akbar Muhammad Daud Dahlan
Dalam tradisi perguruan, Al Idrisiyyah tidak mengedepankan masalah ‘keturunan Nabi’ atau bukan, sehingga merasa perlu menggunakan istilah ‘Habib’, yang oleh kalangan tertentu senantiasa perlu diungkapkan.[3][3] Meskipun hal tersebut ada manfaatnya, akan tetapi dikhawatirkan dapat menimbulkan kecenderungan melebih-lebihkan status keturunan dengan mengesampingkan pengamalan nilai-nilai ajaran Rasulullah yang sebenarnya. Nilai-nilai kebenaran & kemuliaan itu sendiri tidak bisa dimonopoli oleh sistem keturunan, akan tetapi ‘tawaran Allah’ kepada kita untuk ber-taqwa sebagaimana yang telah difirmankan menjadikan nilai kemuliaan itu dapat dimiliki kepada siapa saja yang dikehendakiNya. Tidaklah Bilal bin Rabah yang berkulit hitam menjadi rendah dibandingkan Abu Jahal yang memiliki darah keturunan terhormat. Demikian pula dalam sistem peralihan kepemimpinan Thariqat Al Idrisiyyah tidak berdasarkan keturunan, dan bukan berdasarkan suara terbanyak (demokrasi), akan tetapi kesemuanya ditentukan oleh Qudrat & Iradat Allah jua dengan perantara Guru Mursyid kepada RasulNya SAW kepada hambaNya yang terpilih, meski ia merupakan hamba yang paling bodoh sekalipun. Dan bagi Allah Yang Maha Perkasa kesemuanya itu adalah mudah.
[1][1] lihat kitab: Lawaqihul Anwar al Qudsiyyah, Darul Fikr.
[2][2] lihat kitab Khazinatul Asrar.
[3][3] Tidak semua keturunan Rasulullah dikenal dengan sebutan Habib, misalnya para Wali Songo yang bergelar Sunan, atau Ulama-ulama Salaf terdahulu. Penggunaan istilah Habib ini baru dikenal belakangan melalui tradisi istilah yang dikembangkan oleh para Ulama keturunan Rasulullah dari wilayah Hadramaut (Yaman) yang datang ke Asia Tenggara khususnya Indonesia
***********************
Hidup tidak pernah membatasi, tapi kita lah yang selalu membatasi hidup.
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar