"Mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah Allah dengan ikhlash
dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang
teguh." (Q.S.98 Al-Bayyinah: 5)
Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan, seorang Mursyid Besar pernah
mengungkapkan, 'Ilmu itu susah mengamalkannya, dan amal itu susah
ikhlasnya'
2 etape perjalanan amal yang diawali dengan pengetahuan (ilmu)
membuktikan bahwa untuk mewujudkan keridhaan Allah pada diri kita
sebagai hamba-Nya adalah merupakan perkara yang teramat sulit.
Kita sering mendengar berbicara atau berteori saja itu gampang, karena
memang fakta dan teori sering tidak berjalan bersama.
Konsep yang dikemukakan di atas bukan untuk pribadi tertentu saja, tapi
akan dialami atau dirasakan oleh siapapun yang sedang menjalankan
keistiqamahan dalam beribadah.
Ikhlas, bukanlah perkara lahiriyyah. Ikhlas adalah amalan hati yang tidak
dapat diketahui kedudukannya secara tepat kecuali Allah SWT. Banyak
orang salah kaprah ketika menyimak seseorang yang sedang melakukan
suatu perkara ibadah dengan perkataan, 'Kamu berbuat demikian hanyalah
riya' (pamer)!' Padahal mana mungkin ia bisa mengetahui posisi hati
seseorang itu ikhlas atau tidak. Apakah ia mampu menjangkau
pengetahuan ikhlas atau riya'nya seseorang dalam beribadah?
Kita pun tidak dapat menghakimi amal yang sedang atau sudah kita
lakukan itu adalah ikhlas. Ketika seseorang mengatakan, 'Saya ikhlas
berbuat ini dan itu!' sesungguhnya ia sudah tidak lagi ikhlas. Ikhlas adalah
melupakan perbuatan baik yang pernah ia perbuat. Mengingat-ingat
kebaikan yang pernah kita perbuat akan menjerumuskan kita pada posisi
merasa benar, sehingga tidak ada program muhasabah (evaluasi) dalam
dirinya.
Allah berfirman: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
menghilangkan sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti,
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia
dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian". (QS. Al-Baqarah:
264)
2
Ucapan kita Lillaahi Ta'aalaa sebelum shalat adalah untuk membimbing
dan menghujam hati kita untuk bersikap ikhlas kepada Allah dalam
beramal. Walaupun pada akhirnya perilaku hati memegang peranan utama
mengenai posisi keikhlasan seseorang.
Tidak semua orang mengerti tentang kalimat yang menyandarkan kepada
Asma Allah Yang Agung. Hadits riwayat Thabrani di dalam kitabnya
‘Mu’jamul Kabir’ dari Abi Umamah al-Bahily, mengungkapkan betapa
agung pengungkapan lillaahi ta'ala itu:
Bersabda Rasulullah Saw: "Maukah kamu aku bercerita tentang Khidir Alaihis
Salam?" Para sahabat menjawab: "Ya, mau wahai Rasulullah!"
Bersabda Rasulullah Saw: Pada suatu hari ketika Nabi Khidir berjalan di tengah
pasar Bani Israil, datanglah kepadanya seorang miskin, katanya: "Bershadaqahlah
padaku semoga engkau mendapatkan keberkahan dari Allah!" Nabi Khidir
berkata: "Aku tidak memiliki sesuatu yang dapat diberikan kepadamu!" Berkata
si miskin: "Aku meminta kepadamu dengan Wajah Allah ( Wajhillah) agar
bershadaqah kepadaku, sungguh aku melihat tanda kedermawanan pada
wajahmu. Aku mengharapkan berkah dari Anda!"
Maka berkata Nabi Khidir: "Aku tidak memiliki sesuatu yang dapat kuberikan
padamu. Kecuali diriku ini jika engkau ingin mengambilku dan menjual diriku ini!"
Si Miskin berkata: "Apa benar perkataanmu ini?"
Berkata Nabi Khidir: "Ya, benar. Sungguh engkau telah meminta kepadaku
dengan atas nama sesuatu yang Teramat besar. Ketahuilah sesungguhnya aku
tidak mau menyia-nyiakan permintaanmu yang disertai Wajah Tuhanku. Jual-lah
aku!"
Kemudian si Miskin itu membawa Khidir ke pasar dan menjualnya seharga empat
ratus dirham.
Maka berkata Nabi Khidir kepada majikannya: "Wahai Tuan, suruhlah aku
bekerja! Karena tuan membeli hamba adalah untuk diperkerjakan!"
Berkata si Majikan: "Aku tidak mau membuat susah padamu, karena engkau
seorang tua yang lanjut dan lemah".
Berkata Nabi Khidir: "Tidak ada yang susah payah bagiku".
Berkata si Majikan: "Pindahkanlah batu-batu ini!" Batu tersebut biasanya dapat
diangkut oleh 5 orang dalam satu hari. Setelah memberikan instruksi tersebut, si
3
Majikan kemudian pergi. Kemudian sekembalinya ia ke tempat Nabi Khidir
bekerja, ia melihat batu-batu tersebut telah berpindah tempat dalam waktu
sebentar.
Berkata si Majikan: "Bagus dan baik sekali pekerjaanmu, tidak kusangka!"
Pada suatu ketika si Majikan hendak pergi bermusafir ia berkata kepada Nabi
Khidir: "Sesungguhnya aku yakin akan kesetiaanmu, maka gantikanlah aku
dalam menjaga keluargaku, hartaku dengan kuasa yang sebenarnya".
Berkata Nabi Khidir: "Ya, suruhlah aku bekerja lagi!" Berkata si Majikan: "Aku
tidak mau menyusahkanmu lagi!" Berkata Nabi Khidir: "Tidak ada yang susah
payah bagiku".
Berkata si Majikan: "Buatkanlah batu bata untuk rumahku sampai aku datang
kembali!"
Sekembalinya si Majikan dari perjalanannya, rumahnya sudah selesai dibangun
oleh Nabi Khidir.
Berkatalah si Majikan: "Aku meminta kepadamu dengan Wajhillah, apakah
kedudukan dan urusanmu, siapakah engkau sebenarnya?"
Berkata Nabi Khidir: "Engkau memintaku dengan Wajah Allah, sedangkan
dengan Wajhillah itulah yang membuatku menjadi budakmu. Nah, sekarang
engkau aku beritahu bahwasanya aku adalah Khidir yang telah engkau dengar
(selama ini)! (Asal mulanya) ada seorng miskin meminta kepadaku dengan
Wajah Allah. Karena barang siapa yang diminta dengan Wajah Allah kemudian ia
menolaknya padahal ia mampu memberi sesuatu, maka di hari kiamat ia akan
berdiri dengan wajah tanpa kulit dan daging, hanya tengkorak".
Maka berkata si Majikan: "Aku beriman kepada Allah, dan aku telah
menyusahkan kamu wahai Nabiyyallah dan aku tidak mengetahuinya".
Berkata Nabi Khidir: "Sudahlah tidak apa-apa, engkau telah berbuat baik dan
engkau telah yakin"
Berkatalah si Majikan: "Demi Bapak dan Ibuku, hukumlah aku wahai Nabi Allah
atas keluarga dan hartaku sekehendakmu, sesuka hatimu atau ingin aku
memerdekakanmu!
Berkata Nabi Khidir: "Aku memilih agar aku dimerdekakan agar aku dapat
beribadah kembali kepada Tuhanku. Akhirnya Nabi Khidir bebas.
4
Maka bersyukurlah Nabi Khidir: "Segala puji milik Allah yang telah meletakkan
aku ke dalam perbudakan kemudian membebaskan aku darinya".
Cerita ini menunjukkan sikap lurus seorang Kekasih Allah terhadap
ungkapan yang diucapkannya. Jika kita tidak mengerti nilai keagungan
Asma Allah maka kita akan menyepelekan apa yang kita sebut, dan kita
akan mudah mengatakan 'Saya Ikhlas, lillaahi ta'alaa, dsb. tanpa
memperdulikan apa arti yang kita katakan.
Seorang Mursyid memberikan tips kepada kita, "Resep orang untuk
berbuat ikhlas sebenarnya mudah, hanya mengingat 'Kita semula tidak
memiliki apa-apa, maka kembalikan semuanya kepada Yang Memilikinya'.
Orang yang tidak akan dihisab di akhirat adalah orang yang faqir, yang
tidak merasa memiliki apa-apa. Bagaimana ia akan diperhitungkan oleh
Allah, sedangkan ia tidak memiliki apa-apa. Ia tidak merasa memiliki amal
yang ia telah perbuat, karena ia mengakui bahwa jika ia tidak dibantu
dengan unsur kenikmatan lainnya dari Allah maka ia tidak mampu
beramal. Demikian pula ia tidak merasa mempunyai ilmu, karena ia semula
tidak tahu dan akhirnya ia diberitahu. Inilah yang diungkapkan Nabi Adam
As. 'Subhaanaka laa 'ilma lanaa illaa maa 'allamtanaa innaka Antal
'Aliimul Hakiim'. Sucilah Engkau, tiada ilmu pada kami melainkan apa-apa
yang telah Engkau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkau adalah Zat
Yang Mengetahui dan Bijaksana.
Jika semuanya dikembalikan kepada Allah, barulah ia menduduki perilaku
ikhlas. Banyak orang memposisikan kalimat, 'Innaa lillaahi wainnaa ilayhi
rooji'uun' sebagai kalimat takziyah yang diungkapkan ketika mendengar
orang yang telah dipanggil Allah (wafat). Padahal kalimat ini
sesungguhnya bersifat universal, tidak tertentu kepada masalah kematian
(musibah). Kata ini juga mesti kita ungkapkan ketika kita memperoleh
kenikmatan, karena kenikmatan itu akan segera lenyap dan dipertanyakan
di hari kemudian.
_________________________________
Hidup tidak pernah membatasi, tapi kita lah yang selalu membatasi hidup.
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!
Minggu, 26 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar