Sabtu, 25 Oktober 2008

BUNGA BANK: HALAL ATAU HARAM?

Oleh: Asy-Syaikh al‑Akbar Muhammad Daud Dahlan
Persoalan bunga bank menjadi masalah pelik yang sulit terpecahkan bagi masyarakat Islam baik di Indonesia, maupun di negara Islam Iainnya. Bahkan sampai saat ini pun para ulama masih terbagi tiga dalam menyikapi persoalan defenisi riba, yang berakibat persepsi para ulama tentang bunga bank tergolong kepada tiga kelompok. Namun sebelum lebih jauh kita masuk ke dalam persoalan ini, kita melihat terlebih dahulu pandangan ulama‑ulama terdahulu maupun sekarang tentang bunga bank. Ada tiga kategori hukum yang ditegakkan para ulama tentang bunga bank. Pertama: Yang mengharamkan, kedua yang menyatakan boleh atau mubah dan ketiga yang menghalalkan.Pertama, kelompok yang mengharamkan. Kelompok ini menyatakan bahwa bunga bank merupakan salah satu sumber dari sekian banyak sumber keburukan ekonomi. Keburukan yang menyebabkan seringnya terjadi krisis ekokonomi karena depresi, inflasi, monopoli, dlsb. Alasan-alasan yang mereka kemukakan antara lain :
1. Disebabkan bunga menjadi tumpuan bagi kalangan yang ber-ekonomi kuat untuk memperoleh keuntungan, walaupun bunga (keuntungan tersebut berkisar 2 persen sampai 10 persen). Bagi katanga ekonomi lemah mereka tergiur menanamkan uangnya untuk memperoleh keuntungan atau modal yang baru akibat pembungaan uang yang ditanamkannya di bank.
2. Dalam hal pinjaman produktif (kreditur), bunga melambungkan biaya produksi yang menyebabkan harga-harga barang produksi bisa terpicu untuk menaikkan harga‑harga barang produksi bisa terpicu untuk menaikkan harganya.
3. Bunga bank berkecenderungan untuk menindas. Hal ini mereka lihat tatkala peminjam mendatangi bank, di mana bank telah menentukan bunga. Dalam hal ini bank berperan sebagai penindas dan pemeras karena nasabah diwajibkan membayar bunga bank setiap bulan.
4. Bunga bank dianggap memutasikan kekayaan hanya di antara orang berpunya ke orang berpunya (berputar hanya di antara orang‑orang kaya saja). Akhirnya menjadi ketidak berimbangan kekayaan antara yang miskin dan kaya.
5. Bunga dikkhawatirkan memunculkan kalangan penanam uang yang hanya mengharapkan bunga dari deposito. Hal ini dapat membahayakan jiwa masyarakat dan pemodal yang menanamkan uangnya.
Kelompok kedua, mereka yang tergolong kepada yang membolehkan (mubah). Mereka beralasan:
1. Bunga bank dapat diadopsi dan diapresiasi umat Islam karena dalam perbankan modern tak dapat dielakkan oleh umat Islam. Maka bunga bank dihukumkan boleh (mubah), karena menimbang situasi dan kondisi darurat.
2. Kalangan ini juga membedakan riba dalam perspektif bank modern tidak masuk ke dalam hal yang bersifat konsumtif seperti haInya praktek riba masa jahiliyah. Karena itu riba bunga bank haruslah dalam hal yang bersifat produktif. Bunga yang telah ditentukan (8 persen sampai 20 persen) sehingga dapat dikembalikan dari keuntungan dari uang yang dijadikan modal usaha.
3. Bank konvensional dianggap telah dinasionalisasikan menjadi Perusahaan Negara yang telah menghapus unsur‑unsur pemerasan, walaupun bank secara resmi mengadopsi bunga pula sebagai keuntungan. Dikarenakan penggunaan uang bukan oleh perorangan, maka dalam, hal ini bunga bank dibolehkan.
Kelompok ketiga adalah kalangan ulama Islam yang berpendapat baliwa bunga bank hukumnya halal. Kalangan ini beralasan bahwa bunga bank yang diambil dan diberikan kepada nasabah tidak berlipat ganda, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 130:"Janganlah kamu memakan riba dengan berlipal ganda ".Ungkapan ayat di atas sesuai dengan riba yang berlaku di zaman jahiliyah yang sampai sekarang masih tetap dipraktekkan berbagai bangsa kepada para petani, nelayan dan rakyat kecil lainnya berupa praktek tengkulak dan rentenir yang mencekeki leher mereka yang lemah dan tak berdaya.Dari tiga kategori kelompok ini, manakah pendapat terbaik yang harus kita anut untuk menjalani kehidupan keseharian kita agar sesuai dengan ajaran syari'at agama kita? Terutama dalam hubungannya dengan persoalan bunga dalam bank konvensional. Namun sebelum kita membahas pengertian bunga dalam perspektif sunnatullah. Suatu pengertian yang netral dan tak terkait hukum haram, mubah dan halal.
Bunga Dalam Perspektif Sunnatullah.
Riba dalam pengertian bahasa adalah bunga. Bunga dalam pengertian yang sangat keras (Tasyaddid) dikutuk dan dilarang. Larangan Allah ini bersifat mutlak, tak dapat diganggu gugat. Pokoknya pelaku riba divonis dalam AI‑Quran sebagai orang yang tidak waras dan gila:Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan) ; dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Al-Baqarah: 275)Abdullah Yusuf Ali berpendapat dalam syarah (keterangan Tafsirnya The Holy Quran no. 324):“Para ulama kita dahulu dan sekarang telah menghasilkan karya tulis cukup besar mengenai soal riba ini, yang sebagian besar didasarkan pada kondisi ekonomi pada waktu lahirnnya Islam. Dalam garis‑garis besarnya saya sependapat dengan mereka, tetapi dengan segala rasa hormat saya berbeda pendapat dengan mereka mengenai definisi riba itu". Sebelum diputuskan bunga bank itu haram atau halal, kita harits memutuskan terlebih dahulu apakah bunga bank itu termasuk riba atau bukan. Kalau termasuk riba tentu bunga bank itu haram. Tapi kalau bunga bank itu tidak termasuk ke dalam kategori riba, maka konsekwensinya tentu halal. Baik bunga kredit (pinjaman) maupun bunga para penabungnya. Sekarang baik kita lihat terlebih dahulu bahwa bunga dalam hukum sunnatullah adalah sesuatu yang pasti dan mutlak adanya.Jika ada sebuah pohon tidak berbunga dan tidak berbuah, pohon itu dianggap tidak subur. Jika seorang perempuan tak mempunyai anak, maka sudah pasti perempuan itu mandul. Tapi jika seorang perempuan punya banyak anak, sudah pasti perempuan tersebut subur. Inilah yang dipandang sunntullah.Untuk lebih jernih kita melihat masalah ini, marilah kita semua melepaskan dulu pikiran, persepsi , anggapan kita terhadap bunga bank itu haram atau halal. Kita sterilkan dulu bunga bank itu dari segi hukum. Kita melihat bunga bank dari perspektif sunnatullah. Apabila sebuah bank ingin bagus pertumbuhannya, maka ia (bank itu) akan menentukan bunga (jariyah, keuntungan) tertentu bagi investor (penabung) maupun kreditor (peminjam).Bagi investor disyaratkan bunga 2 sampai 10 persen perbulan. Sedang kreditor (peminjam) dibeban, bunga 8 sampai 20 persen sebulan. Bank sebagai sebitah institusi tentu ingin berkembang dan dipandang subur sesuai dengan sunnatullah. Maka bank tumbuh tidak wajar sebagaimana yang diharapkan (sesuai dengan sunnatullah), tentu bank tersebut dipandang mandul alias pailit dan mati. Orang yang menabung di bank konvensional (harus meniatkan uang yang disimpan di bank itu bukan tabungan atau simpanan, tapi investasi). Begitu pula pihak bank, bank menginvestasikan uangnya kepa­da kreditur (peminjam yang layak dan bertanggung jawab). Selain itu, peminjam juga dinilai apakah ia mampu berkembang, mampu melakukan usahanya sehingga layak dipinjamkan modal dari bank konvesional tersebut. Pihak bank tidak akan meminjamkan uangnya (modaInya) kepada pihak‑pihak (orang atau institusi) yang tidak layak, yang tidak mempunyai rencana kerja atau usaha yang lebih perspektif dan menjanjikan.Bagi pihak yang tak mampu mengembangkan modalnya dan mempertanggungjawabkannya dengan jaminan adanya kemajuan dalam usaha, pihak bank tak akan memberikan pinjaman kepada mereka.Keberatan para ulama tentang haramnya bunga bank ditentukan pada tekanan peminjaman yangmengandung kezaliman (zulm). Pada masa Rasulullah, peminjaman kepada seseorang dari seorang kaya, tidak mengenal adanya inflasi. Bank juga dikenal sebagai sebuah institusi perdagangan (tijarah). Karena itu bank sebagai sebuah institusi perdagangan yang dilindungi pemerintah, bank dikenai kewajiban membayar pajak kepada negara, membayar gaji karyawan, biaya kontrak tempat usaha (kalau masih mengontrak) dan lain sebagainya. Tentu semua biaya‑biaya tersebut sudah diperhitungkan dan disesuaikan dengan keuntungan (bunga/riba) yang ditetapkan agar tak mengalami kerugian.Bagi penabung, mengapa harus diniatkan sebagai investasi? Secara sadar penabung menaruh uangnya di bank, pasti akan digunakan / dimanfaatkan oleh anggota masyarakat lainnya. Kalau tidak ingin uangnya dimanfaatkan orang (institusi) lain, maka tabungkan saja uangnya dalam celengan di rumah. Dan itu asli (tabungan) karena tak mengenal keuntungan (bunga atau riba) dan penyimpan uang. Dalam hal ini tabungan di bank, hakikat uang tersebut adalah investasi, walaupun pihak bank mengatakan tabungan. Tapi bagi penanam uang harus diniatkan investasi.“Sesungguhnya setiap amal perbuatan itu bergantung pada niatnya” (al-Hadits)Dalam hal ini, jika ditinjau bahwa keuntungan bank (baik bagi investor niaupun kreditor) dianggap bunga, maka bunga bank tersebut dihukumkan kepada bunga atau riba yang halal. Namun selanjutnya marilah kita tinjau apa pengertian bunga tersebut.
Bunga Riba dan Bunga Bukan Riba.Sebagaimana dalam kehidupan ini, bunga dari segala jenis tumbuhan ada yang manis ada pula yang pahit. Ada bunga yang baik dan ada pula Jelek. Ada yang indah dan ada pula yang buruk. Manusia yang menurunkan anak (sebagai bunga dari sebuah perkawinan) pun demikian. Ada anak yang shaleh ada pula anak yang thaleh (jahat). Ada anak yang jujur ada pula anak yang pembohong. Anak yang membohong secara lebih parah bisa disebutkan anak yang suka mencopet. Karena dalam sifat niencopet tersebut pasti terdapat unsur yang besar yaitu bohong. Dalam sifat bohongnya itu terdapat rasa ingin melipatgandakan hasil usahanya yang zalim itu tanpa berusaha secara waiar.Bunga bank termasuk bunga yang halal, karena tak mensyaratkan pelipatan pembayaran seperti rentenir atau lintah darat, yang menerapkan bunga 100%(seratus persen) bahkan sampai 300% (tiga ratus persen). Sedang bunga yang pahit, bunga yang jelek dan yang buruk sebagaimana disitir di atas tadi bunga yang bagaimana? Dalam surat Ali Imran 130 Allah berfirman:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Ali Imran: 130Inilah riba yang dikategrikan sebagai bunga yang pahit, bunga yang buruk dan jelek seperti yang difirmankan Allah Swt dalam firman‑Nya dalam surat An‑Nisa ayat 161:"Karena mereka mempraktekkan riba, padahal mereka sudah dilarang, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil.Jalan batil inilah yang dikategorikan riba yang berlipat‑ganda ('adh'afan mudha'afatan), sehingga Allah Swt melarang keras riba yang berlipat ganda (bunga yang pahit, yang mengandung kezaliman terhadap orang lain).Sedang bunga baik dikategorikan sebagal bunga dalam batas‑batas kewajaran sebagamana firman Allah swt:"Ia (Allah) menghalalkan buruk mereka segala yang baik (yaitu bunga wangi, indah dan haik) dan mengharamkan segala yang buruk (yang kotor: yaitu bunga yang buruk, yang pahit dan mengandung racun yang mematikan). Ia (Allah) membebaskan mereka dari beban dan belenggu ".(Al A'raf ayat 157).Jika kita melihat kebenaran itu dari orang kafir, maka akui bahwa itu kebenaran. Karena kebenaran itu begitu jelas dan nyata. Karena kebenaran itu direstui Allali swt sebab sesuai dengan al‑Quran dan sunnah (Hadits). Seperti halnya Rasulullah pernah mengambil puasa Asyura’ sebagai puasa resmi umat Islam, di mana puasa Asyura itu sendiri berasal dari tradisi agama Yahudi. Karena itu Rasulullah men-sunnahkan puasa 1 Muharram (1 Asyura’) sebagai puasa sunat bagi Umatriya. Beliau tidak menerima kebenaran Puasa Sunnah ini dari wahyu yang disampaikan Allah lewat malaikat Jibril (sebagaimana biasanya), atau juga hadits Qudsi yang.juga termasuk wahyu Allah. Atau lewat ilham dari Allah swt yang ditahbiskan menjadi hadits. Tapi justru kebenaran puasa 1 Muharram, dinukil beliau dari perilaku orang kafir. Walaupun dilakukan orang kafir, sepanjang itu benar maka ia berasal dari Allah dan rasul‑Nya.Inilah satu contoh bahwa Rasulullah saw tidak malu mengutip (mengambil) kebenaran dari orang kafir(Yahudi). Bahkan Rasulullah Saw memerintahkan kepada umatnya pada kebijakan yang lain:“Tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina ". (Bukhari-muslim).Jika bunga bank tersebut benar (berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas termasuk bunga baik, indah dan wangi), yang berasal dari orang Barat (Eropa dan Amerika) akuilah kebenarannya. Toh, baik Syari’ahpun memakai bunga jika berhubungan dengan bank konvensional. Jelas sekali para ulama, ekonom Muslim kita tidak konsisten dalam menerapkan bunga bank itu haram. Jika berhubungan dengan bank konvensional, bank syari'ah menerapkan bunga bank. Jika berhubungan dengan nasabah (yang sebagian besar umat Islam), bank syari'ah menerapkan system mudharabah (bagi hasil).Jika umat Islam ingin mendirikan bank yang berbeda sistem dan metodenya dengan bank konvensional, silahkan dirikan bank tersebut. Tapi jangan menyalahkan sistem bank lain (bank konvensional) di mana para ulama kita sesungguhnya tidak secara mendalam dan bersikap tergesa‑gesa, sehingga dikhawatirkan hanya mengikuti dan ditunggangi hawa nafsu mereka dan dikatakan sebagai fatwa.Jika selama ini umat tidak menerima fatwa MUI, dituduh umat Islam lebih berfikir sekuler. Hati‑hati dengan tuduhan ini. Sebab umat Islam bukanlah kumpulan orang‑orang yang bodoh dan dungu. Boleh jadi Umat Islam tak mengikuti fatwa MUI tersebut dikarenakan fatwa itu tidak benar. Kalau fatwa ltu tidak benar maka umat Islam tidak wajib mengikutinya.Tapi jika pendapat MUI benar tentu fatwa itu sangat berwibawa dan umat akan serta­ merta mengikutinya dengan sikap sami'na waatha'na. Tapi karena fatwa MUI itu masih diragukan dan MUI sebagai sebuah lembaga mengambil sikap sepihak dan otoriter, apa yang dikhawatirkan oleh Toto tasmara bahwa ada tiga implikasi negatif dari keputusan MUI tersebut, yaitu, Pertama: Lantaran penghayatan agama umat kurang, para karyawan Bank yang muslim menjadi gelisah. Karena mereka berpendapat tempat mereka bekerja mempraktekkan riba. Akhirnya bisa memunculkan frustasi dan sikap ingin keluar dari tempatnya bekerja. Kedua, masyarakat beranggapan bahwa agama Islam sangat kaku karena banyak larangannya, yang akibat akhirnya menurut toto, bahwa terjadi sikap murtad dari ajaran Islam. Ketiga, Sikap acuh tak acuh terhadap fatwa MUI tersebut (men-cuekin pendapat MUI). (dialog Jumat, Republika, 9 Januari 2003). Masih banyak dampak lainnya dari fatwa MUI tersebut yaitu mengakibatkan hal‑hal negatif dalam negara ini baik lembaga negara, lembaga swasta dan perorangan, tapi anehnya setelah fatwa MIJI tersebut meluncur pada 16 Desember 2003, masyarakat menyambutnya dengan kepala dingin. Bank Syari’ah pun tak kecipratan dana besar akibat rush (penarikan dana besar‑besaran) dari bank konvensional. Ada apa sebenarnya sehingga terjadi sikap dingin masyarakat terhadap fatwa MUI. Apakah memang masyarakat masih belum memahami agamanya secara mendalam sehingga betul‑betul belum faham bahwa bunga bank itu haram. Atau fatwa MUI memang tidak kuat fundamental (dasar) nya sehingga disikapi dingin dan cuek oleh masyarakat. Hal ini perlu dipertanyakan. Atau seperti pendapat lain baliwa MUI perlu menjelaskan dulu riba dari sisi 'Banking System", disosialisasikan dulu secara bertahap. Setelah matang dan umat mengerti apa itu riba, apakah bunga bank termasuk riba atau bukan. Setelah cukup waktu waktu baru diputuskan bahwa bunga bank itu halal atau haram.Jika MUI telah bersikap sepihak dan otoriter dengan keputusan dan sikapnya yang mengandung kebodohan dan kekeliruan tersebut, apa yang dikhawatirkan Toto Tasmara di atas pasti akan menjadi kenyataan. Para ulama MUI harus mempertanggungjawabkannya sampai ke Padang Mahsyar di akhirat nanti.Kajian yang telah dipaparkan di atas, yang memperlihatkan bahwa bunga bank itu terbagi dua. Ada bunga yang buruk dan ada bunga yang baik, bukanlah sebuah hasil pemikiran saya. Tapi merupakan kajian kritis terhadap AI‑quran dan hadits (sunnah) Rasulullah Saw. Sebab jika pemaparan diatas berasal dari pemikiran saya, diprediksi dan dikhawatirkan akan mengandung kelemahan saya sebagai manusia yang sangat mungkin tersusupi oleh bisikan‑bisikan setan dan nafsu diri saya sendiri. Tapi pendapat ini adalah analisis dan kajian kritis terhadap AI‑Quran dan hadits serta kejadian-kejadian yang terdapat pada masa Rasulullah saw.Sebagai ulama, sebaiknya janganlah berpikir sepihak, terpengaruh oleh hal‑hal bersifat politis, ekonomi yang bersifat ekslusif. Islam adalah agama universal, inklusif dan rahmat bagi semesta alam. Bagaimana Islam menjadi radikal bila ulama mereka (yang terkumpul) dalam lembaga MUI tidak mencerminkan keputusan yang membawa rahmat bagi umatnya, apalagi untuk seluruh alam.Para Ulama yang ada di negeri kita, umat yang juga terbagi ke dalam beberapa macam mazhab berhak berbeda pendapat. Sepanjang pendapat tersebut mempunyai dasar pijakan yang dapat diterima (logis) menurut AI‑Quran dan hadits (sunnah) Rasulullah Saw. Dalam pemahaman AI‑Quran dan hadits, ada monopoli satu kelompok atas kelompok lainnya. Seperti keputusan MUI yang mengabaikan pendapat para ulama yang berada di luar MUI sebab kebenaran itu milik Allah Swt. Dialah yang berhak memonopoli kebenaran itu sendirian. Sedang umat hanya memegang kebenaran yang nanti (di akhirat) akan diuji dan diputuskan oleh Allah Swt secara bijaksana dan penuh kearifan. Sesuai dengan sifat‑Nya yang bijaksana dan arif.
Jakarta, Maret 2002.
Daftar Pustaka.
1. AI‑Quran al‑Karim, Allah Swt.
2. Abdullah Yusuf ‑ "The Holy Quran". Terjemahan Ali Audah. Pustaka Firdaus 1993.
3. Anwar Mohammad "Fiqh Muamalah, Munakahat, Faraid dan Jinayat. PT AI‑Ma'arif Bandung 1988.
4. Al‑Asqalani, Ibnu Hajar - Bulugh al-Maram Min Adillat al‑Ahkam. AI-Maktabah ‑ AI‑Tijariyah al-Kubra – Beirut, tanpa tahun.
5. Ash‑Siddiqi, hasbi: "Pengantar Fiqh Mu'amalah". Bulan Bintang Jakarta 1984.
6. Bahreisy, Husein: "Himpunan fatwa". AI‑Ikhas, Surabaya 1987.
7. Djazuli, H. Atjep: llmu Fiqh, Sebuah Pengantar". Dunia llmu, Bandung 1987.
8. Darqa’, Musthaga Ahmad:"Al-Madkhal al‑Fiqh al‑Am". Darul AI‑Fikri‑ Beirut, tanpa tahun.
9. Fachrudin, Fuad Muhammad, “Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseroan dari Asuransi". PT. Al-Ma’arif ‑ Bandung 1985
10. Hartojo PP. "Ekonomi dan Koperasi (Terate Bandung,1986).
11. Khatib Muhammad al­-Syarbini:" AI‑Quran, Fi Hall Al‑AlFazh Abi Syuja’. Dar al-Ihya al‑Kutub AI‑Arabiyah, tanpa tahun.
12. Majid, Abd. : "Pokok‑Pokok Fiqh dan Hukum Kebendaan Dalam Islam ‑ IAIN Sunan Gunung Jiati , Bandung 1986.
13. Manan, M. Abdul: ‑ "Ekonomi Islam ‑Teori dan Praktek ‑. PT Dhar Bhakti Wakaf' Yogyakarta 1993.
14. Mas'adi, Gufron. a. “Fiqh Muamalah Kontekstual ‑. Penerbit Raja Grafnido Persada dan IAIN Wallsongo Semarang 2002.
15. Madsuhi Abd. Rohman, "Pengantar dan Azas‑azas Hukum Perdata Islam". Central media, Surabaya 1992.
16. Suhedi, Hendi, Haji: “Fiqh Muamalah". PT. Raja Grafnido Persada, Yogyakarta 2002.
17. Shlddiqi, Moh. Nejjatullah: “Bank islam,". Terjemahan Asep Hikmat Suhendi Pustaka Bandung,1984.
18. Syaltut, Mahmud ‑ "Fatwa‑fatwa” Terjemahan Tim Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, tanpa tahun.
19. Zuhaily Wahbah, "AI‑Fiqh AI-Islamy wa Adillatuhu‑. Juz IV Dar AI‑Fikr, Beirut, 1989.
Persoalan bunga yang termasuk riba ini telah terjadi sejak zaman Sayidina Umar Ra. yang tiba‑tiba tersentak oleh persoalan yang kian membesar tentang riba ini. Sedang saat itu Rasulullah Saw telah berpulang ke rahmat Allah SWt. Akhirnya Sayidina Umarpun tetap berada dalam persoalan yang menggantung sampal wafatnya karena sulitnya masalah ini dipecahkan.
Dalam hal yang mengharamkan ini, para ulama yang paling keras sikapnya adalah Dr.Yusuf Qardhawi. Kemudian Muhammad Abu zahrah, juga Anwar lqbal al‑Qureshi.
Yang membolehkan bunga bank ini di antaranya para ulama Muhammadiyah yang bersidang di Sidoarjo pada tahun 1968 yang membolehkan umat berhubungan dan melakukan transaksi dengan bank‑bank pemerintah yang dikategorikan sebagai hal syubhat. Oleh sebab itu para ulama Muhammadiyah bersikap agar umat menolak bunga bank karena belum jelas halal dan haramnya. Pada satu hal bunga bank memudharatkan, tapi pada sisi lain bunga bank dianggap boleh karena bunganya yang kecil itu bukan keuntungan yang diraih oleh seseorang melainkan lembaga (keuntungan kolektif/umum). Meskipun bunga bank dianggap hal syubhat, tak serta merta umat bebas melakukan pembungaan uang sebagaimana Rasulullah saw menyarankan umat islam agar menjauhi perkara subhat.Dalam hal ini ulama Muhammadiyah berkesimpulan bahwa bunga bank boleh (sepanjang berhubungan dengan bank negara/milik negara). Karena bunganya yang kecil. Selain itu juga untuk kepentingan umum. Walaupun pada era terakhir ini ada ulama Muhammadiyah yang mengharamkan bunga bank (Lihat media Indonesia 16-1‑2004) namun belum final seluruh ulama Muhammadiyah bersikap demikian.Dan mereka mengharamkan bertransaksi dengan bank swasta, karena dianggap tidak dipakai untuk kemaslahatan umum seperti bank milik negara. Melainkan untuk kepentingan orang‑orang yang bermodal dan para pegawainya.
Mereka tidak membedakan bank pemerintah maupun bank swasta. Sebab kedua bank ini masih berada dalam koridor pengambilan dan pemberian bunga yang masih berada dalain batas‑batas wajar.
Ibnu Katsir mengartikan bahwa orang yang memakan riba hatinya tidak tentram, seperti kemasukan syetan.
Riba yang sudah diambil sebelum ayat ini turun boleh tidak dikembalikan.
Bidang muamalat tentang riba ini telah disadari bukanlah masalah pokok dalam agama (yang sering tidak terIalu banyak perbedaan pcndapat) tentang riba ini adalah dalam masalah defenisinya. Abdullah Yusuf Ali memberikan kriteria bunga bank yang bukan riba. Yaitu:
a. Keuntungan yang tidak wajar.
1. Bukan dengan cara perdagangan yang sah.
2. Di luar pinjaman berupa emas dan perak serta barang‑barang makanan yang pokok seperti gandum, berley (sya'far), kurma dan garam (sesuai dengan nama‑nama yang disebut Rasulullah sendiri.
Defenisi yang mencakup juga pengambilan keuntungan yang berlebihan atas segala macam barang, tetapi tidak termasuk kredit dalam perekonomian, sebagai hasil sistem keuangan dan perbankan modern. (Lihat "The Holy Quran” ­Terjemahan Ali Audah, Halaman 111)
Dalam setiap usaha peminjaman, pihak bank meneliti dulu rencana usaha peminjaman (kreditor) apakah yang menjadi prospek usahanya mampu dikembangkan dalam sekian tahun, kemudian juga ditunjukkan studi kelayakan usaha. Sehingga antara pihak bank dan peminjam (kreditor) sama‑sama diuntungkan oleh usaha peminjaman dari bank tersebut.
Sekarang jika sebuah bank tidak ingin mati (bangkrut) karena adanya inflasi (besar atau kecil) maka bank akan menarik bunga (keuntungan) dari kreditor sesuai dengan tingkat laju inflasi yang berlangsung.
Rasulullah Saw pada tanggal 1 Asyura melihat orang‑orang Yahudi sedang berpuasa. Nabi bertanya: "Mengapa dan untuk apa kalian berpuasa?” Umat Yahudi itu menjawab: “Kami berpuasa karena menghormati Nabi Musa ketika lepas dari kepungan Fir'aun, Ialu Musa membelah laut dengan mukjizat melalui tongkatnya". Rasulullah Ialu menjawab: "Kalau begitu aku dan umatku lebih berhak mengerjakannya daripada kalian!” jawab Rasulullah Saw.

**************************************
Hidup tidak pernah membatasi, tapi kita lah yang selalu membatasi hidup.
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!

5 komentar:

Unknown mengatakan...

Mantap, tegas, punya dasar, tidak profokatif, sesuai syari'at Islam. Tks.

Unknown mengatakan...

Setuju, tks.

Unknown mengatakan...

Blm paham 100 %, masih bingung dgn pendapat ust yg lain..

Unknown mengatakan...

Agak reda dikit, walaupun blm paham 100 %,,

Unknown mengatakan...

Masuk akal dan mengaitkan dgn segala aspek kehidupan syariat Islam