Selasa, 28 Oktober 2008

Pengetahuan agama (Dien) Islam

Pengetahuan agama (Dien) Islam bagi masyarakat dunia pada era sekarang ini sudah menjadi anggapan sebagai pengetahuan umum. Maksudnya, setiap orang mempunyai peluang tentang kebijakan Dienul Islam. Karena Al-Quran sudah dicetak, diterjemahkan, dijual di berbagai tempat. Baik, di toko-toko maupun di pinggir jalan. Kondisi memiliki kecenderungan bagi siapa saja yang ingin mempelajari Dienul Islam akan terilhami dua kemungkinan. (Pertama) mereka merasa cukup dengan pengetahuan yang didapatkan mereka tentang kebijakan Dienul Islam. Apalagi di antara mereka memiliki kepentingan dalam komunitas, masyarakatnya, kedudukannya. Sehingga mereka begitu sungguh-sungguh mempelajarinya. Namun satu hal yang mereka sadari bahwa mempelajari Dienul Islam itu tidak cukup dengan mempelajari Kitab-kitab, buku-buku atau pun Al-Quran yang telah diterjemahkan.Apalagi Al-Quran yang telah diterjemahkan oleh Mufassirin atau Penterjemah baik dari Departemen Agama atau Cendekiawan lulusan Timur Tengah sekalipun, tanpa disadari teks-teks Al-Quran yang berbahasa Arab itu tidak diterjemahkan sesuai dengan pendekatan tata bahasa Arab. Tapi mereka menerjemahkannya disesuaikan dengan latar belakang budaya kebangsaan, yakni bahasa Indonesia. Sedangkan bahasa Indonesia sendiri tidak memiliki disiplin keilmuan yang ilmiah. Bahasa Indonesia lebih menekankan pada nilai-nilai bahasa sastra dan budaya. Seperti ungkapan manusia sejati, Islam sejati. Ini merupakan ungkapan bahasa sastra, bukan bahasa ilmiah. Sedangkan bahasa Al-Quran itu mengandung dan bermetode ilmiah. Setiap kalimat dan istilah dalam bahasa Arab itu mesti mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah dirumuskan dalam ilmu tata bahasa Arab. Sehingga setiap kalimat atau istilah yang dibangun dalam bahasa Arab mempunyai kedudukan hukum yang pasti. Maka dengan demikian siapa saja yang mempelajari Al-Quran atau kebijakan Dienul Islam secara keseluruhan tanpa dibimbing seorang Guru, Pemimpin, Orang yang dipilih oleh Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan menemukan jalan yang sesat. Mereka tidak akan mengerti perbedaan antara Amal Sholeh dengan Amilush-Sholeh, mereka tidak mengerti perbedaan kepemimpinan Ilahiyyah dengan kepemimpinan Insaniyyah, mereka tidak akan mengerti tentang tata bahasa Arab, mereka tidak akan mengerti bahwa kandungan ayat-ayat Al-Quran itu bersifat dinamis.(Kedua) Tapi ada juga dari mereka yang mempelajari Dienul Islam dari beberapa kandungan kitab, diringi dengan kesucian hati dan didasari keinginan untuk mencari kebenaran yang hakiki. Walaupun mereka mempelajarinya dari kitab-kitab yang ia beli dan pelajari, maka keinginan pencarian kebenaran yang disertai ketundukan lahir dan batin itu akan mempertemukannya dengan seseorang yang dipilih oleh Allah SWT.Uraian tersebut mengawali pembahasan pengajian kali ini. Melihat fenomena banyak orang yang seringkali mengungkapkan istilah taqwa, ikhlash, ridha, zuhud, dengan mudah dari lisannya tanpa disertai dengan makna sesungguhnya. Padahal setiap istilah itu memiliki maqam (kedudukan) atau kapasitas yang berbeda dengan lainnya. Ketahuilah jika kita mempelajari Dienul Islam, bukan sekedar kita membahas masalah 'ubudiyah atau ruhaniyah atau spiritual semata. Kita sering mendengar bahwasanya Nabi Saw bersabda: Man Aroodad dun-yaa fa'alayhi bil'ilmi, waman aroodal aakhirota fa'alayhi bil'ilmi [Barang siapa menginginkan dunia maka mesti disertai dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan akhirat maka mesti disertai dengan ilmu pula]. Hal ini menunjukkan bahwa Dienul Islam juga memiliki tuntunan kebijakan duniawi dan ukhrawi. Adalah keliru jika mengatakan bahwa Dienul Islam itu hanya mengungkapkan hanya urusan syurga dan neraka. Urusan berbangsa dan bernegara pun mesti dikaitkan dengan urusan ukhrawi. Dunia dan akhirat bukan didasari oleh prinsip keseimbangan, tapi berkesinambungan yang sifatnya satu paket atau satu benang merah yang tidak dapat dipisahkan. Dikatakan, tidak akan ada dunia jika tidak ada akhirat, dan sebaliknya juga tidak akan ada akhirat jika tidak ada dunia.Pada umumnya umat manusia dan umat Islam menganggap bahwa jika seseorang telah melakukan kebajikan dianggap telah beribadah. Memang betul. Hanya kapasitasnya!? Ia berada dalam wilayah dimensi kepemimpinan yang mana? Kepemimpinan Insaniyyah atau Ilahiyyah? Ketika seseorang memungut duri dari jalan agar orang-orang terhindar dari duri tersebut, hal itu memang kebajikan. Menolong orang lain dalam kondisi apapun, itu kebajikan. Memungut sampah ke tempat sampah, itu kebajikan. Namun saat ia berbuat sesuatu itu, apa yang diitikadkannya, dan di mana dia berada? Di bawah kepemimpinan insaniyyah atau Ilahiyyah? Sebab pada dasarnya kebajikan itu dimiliki oleh setiap individu, komunitas, suku dan bangsa. Bahkan setiap makhluk memahami tentang kebajikan itu. Nah, kita pada umumnya berada di mana? Apakah dalam kebijakan Ilahiyyah atau tidak? Inilah yang mesti kita pahami.Jika kita melakukan kebajikan di bawah naungan kepemimpinan Insaniyyah, berarti kita akan mendapatkan balasan, ganjaran atau kemuliaan sebatas kehidupan dunia saja. Bukan dari kebijakan Ilahiyyah. Kalau kita ingin mendapatkan ganjaran kebijakan Ilahiyyah mesti ada komitmen atau bai'at, harus ada ikatan, mesti ada lisensi (licence) yang menunjukkan sah secara hukum. ................Sekretariat.Batu Tulis, 7 Juli 2008

************************
Hidup tidak pernah membatasi, tapi kita lah yang selalu membatasi hidup.
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!

Tidak ada komentar: