Berdzikir dengan metode jahar memiliki sandaran kuat dari Al Quran dan Hadits. Di antaranya adalah firman Allah Ta’ala:
“Maka jika engkau telah menunaikan shalat, berdzikirlah kepada Allah dengan keadaan berdiri, duduk dan berbaring”. (an Nisaa’: 102)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim: Dari Ibnu ’Abbas Ra. berkata: "bahwasanya dzikir dengan suara keras setelah selesai shalat wajib adalah biasa pada masa Rasulullah SAW". Kata Ibnu ’Abbas, “Aku segera tahu bahwa mereka telah selesai shalat, kalau suara mereka membaca dzikir telah kedengaran”.1
Para pendidik ruhani masa lalu menyatakan dengan berbagai landasan eksperimennya bahwa “Orang-orang yang mubtadi (pemula) dan bagi orang-orang yang menuntut terbukanya pintu hati adalah wajib berjahar dalam dzikirnya”. Syaikh Abdul Wahhab asy Sya’rani Rahimahullahu Ta’ala berkata: “Sesungguhnya sebagian besar Ulama Ahli Tasawuf telah mufakat bahwasanya wajib atas murid itu berdzikir dengan jahar, yakni dengan menyaringkan akan suaranya dan didalamkannya. Dan berdzikir dengan sirri dan perlahan-lahan itu tidak akan memberi faidah kepadanya untuk menaikkan kepada martabat yang tinggi”2
Berdzikir jahar yang dimaksud adalah berdzikir dengan suara keras yang sempurna, sehingga bagian atas kepala hingga kaki mereka itu bergerak. Dan seutama-utama dzikir jahar adalah berdiri, dengan menghentak, bergerak teratur dari ujung rambut hingga ujung kaki, hingga seluruh jasadnya turut merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla.
Keunggulan dzikir jahar itu adalah seperti yang dikatakan seorang Ulama Ahli Tasawuf: “Apabila seorang murid berdzikir kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla dengan sangat kuat dan semangat yang tinggi, niscaya dilipat baginya maqam-maqam thariqah dengan sangat cepat tanpa halangan. Maka dalam waktu sesaat (relatif singkat) ia dapat menempuh jalan (derajat) yang tidak bisa ditempuh oleh orang lain salam waktu sebulan atau lebih”.
Syekhul Hadits, Maulana Zakaria Khandalawi mengatakan, ‘Sebahagian orang mengatakan bahwa dzikir jahar (dzikir dengan mengeraskkan suara) adalah termasuk bid’ah dan perbuatan yang tiada dibolehkan). Pendapat ini adalah menunjukkan bahwa pengetahuan mereka itu di dalam hadits adalah sangat tipis. Maulana Abdul Hayy Rahimahullahu Ta’ala mengarang sebuah risalah yang berjudul ‘Shabahatul Fikri’. Beliau menukil di dalam risalahnya itu sebanyak 50 hadits yang menjadi dasar bahwa dzikir jahar itu disunnahkan’.3
Dan dzikir jahar itu dianjurkan dengan berjama’ah4, dikarenakan dzikir dalam berjama’ah itu lebih banyak membekas di hati dan berpengaruh dalam mengangkat hijab.
Imam al Ghazali Rahimahullahu Ta’ala telah mengumpamakan dzikir seorang diri dengan dzikir berjama’ah itu bagaikan adzan orang sendiri dengan adzan berjama’ah. Maka sebagaimana suara-suara muadzin secara kelompok lebih bergema di udara daripada suara seorang muadzin, begitu pula dzikir berjama’ah lebih berpengaruh pada hati seseorang dalam mengangkat hijab, karena Allah Ta’ala mengumpamakan hati dengan batu. Telah diketahui bahwa batu tidak bisa pecah kecuali dengan kekuatan sekelompok orang yang lebih hebat daripada kekuatan satu orang”.5
1 Lihat Shahih Muslim I, Bab Shalat.
2 Lihat Siyarus Salikin III: 191.
3 Fadhilat zikir, Muh Zakariya Khandalawi. Terj. HM. Yaqoob Ansari, Penang Malaysia, hal 72.
4 Rasulullah SAW bersabda: “Tiadalah duduk suatu kaum berdzikir (menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla) melainkan mereka dinaungi oleh para malaikat, dipenuhi oleh rahmat Allah dan mereka diberikan ketenangan hati, juga Allah menyebut-nyebut nama mereka itu dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya”. (At Targhib wat Tarhib, II: 404)
5 Minahus Saniyyah, Abd. Wahab as Sya’rani.
Sumber Tarekat Al-Idrisiyyah.
***********************************
Hidup tidak pernah membatasi, tapi kita lah yang selalu membatasi hidup.
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!
“Maka jika engkau telah menunaikan shalat, berdzikirlah kepada Allah dengan keadaan berdiri, duduk dan berbaring”. (an Nisaa’: 102)
Diriwayatkan dalam Shahih Muslim: Dari Ibnu ’Abbas Ra. berkata: "bahwasanya dzikir dengan suara keras setelah selesai shalat wajib adalah biasa pada masa Rasulullah SAW". Kata Ibnu ’Abbas, “Aku segera tahu bahwa mereka telah selesai shalat, kalau suara mereka membaca dzikir telah kedengaran”.1
Para pendidik ruhani masa lalu menyatakan dengan berbagai landasan eksperimennya bahwa “Orang-orang yang mubtadi (pemula) dan bagi orang-orang yang menuntut terbukanya pintu hati adalah wajib berjahar dalam dzikirnya”. Syaikh Abdul Wahhab asy Sya’rani Rahimahullahu Ta’ala berkata: “Sesungguhnya sebagian besar Ulama Ahli Tasawuf telah mufakat bahwasanya wajib atas murid itu berdzikir dengan jahar, yakni dengan menyaringkan akan suaranya dan didalamkannya. Dan berdzikir dengan sirri dan perlahan-lahan itu tidak akan memberi faidah kepadanya untuk menaikkan kepada martabat yang tinggi”2
Berdzikir jahar yang dimaksud adalah berdzikir dengan suara keras yang sempurna, sehingga bagian atas kepala hingga kaki mereka itu bergerak. Dan seutama-utama dzikir jahar adalah berdiri, dengan menghentak, bergerak teratur dari ujung rambut hingga ujung kaki, hingga seluruh jasadnya turut merasakan Keagungan dan Kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla.
Keunggulan dzikir jahar itu adalah seperti yang dikatakan seorang Ulama Ahli Tasawuf: “Apabila seorang murid berdzikir kepada Tuhannya ‘Azza wa Jalla dengan sangat kuat dan semangat yang tinggi, niscaya dilipat baginya maqam-maqam thariqah dengan sangat cepat tanpa halangan. Maka dalam waktu sesaat (relatif singkat) ia dapat menempuh jalan (derajat) yang tidak bisa ditempuh oleh orang lain salam waktu sebulan atau lebih”.
Syekhul Hadits, Maulana Zakaria Khandalawi mengatakan, ‘Sebahagian orang mengatakan bahwa dzikir jahar (dzikir dengan mengeraskkan suara) adalah termasuk bid’ah dan perbuatan yang tiada dibolehkan). Pendapat ini adalah menunjukkan bahwa pengetahuan mereka itu di dalam hadits adalah sangat tipis. Maulana Abdul Hayy Rahimahullahu Ta’ala mengarang sebuah risalah yang berjudul ‘Shabahatul Fikri’. Beliau menukil di dalam risalahnya itu sebanyak 50 hadits yang menjadi dasar bahwa dzikir jahar itu disunnahkan’.3
Dan dzikir jahar itu dianjurkan dengan berjama’ah4, dikarenakan dzikir dalam berjama’ah itu lebih banyak membekas di hati dan berpengaruh dalam mengangkat hijab.
Imam al Ghazali Rahimahullahu Ta’ala telah mengumpamakan dzikir seorang diri dengan dzikir berjama’ah itu bagaikan adzan orang sendiri dengan adzan berjama’ah. Maka sebagaimana suara-suara muadzin secara kelompok lebih bergema di udara daripada suara seorang muadzin, begitu pula dzikir berjama’ah lebih berpengaruh pada hati seseorang dalam mengangkat hijab, karena Allah Ta’ala mengumpamakan hati dengan batu. Telah diketahui bahwa batu tidak bisa pecah kecuali dengan kekuatan sekelompok orang yang lebih hebat daripada kekuatan satu orang”.5
1 Lihat Shahih Muslim I, Bab Shalat.
2 Lihat Siyarus Salikin III: 191.
3 Fadhilat zikir, Muh Zakariya Khandalawi. Terj. HM. Yaqoob Ansari, Penang Malaysia, hal 72.
4 Rasulullah SAW bersabda: “Tiadalah duduk suatu kaum berdzikir (menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla) melainkan mereka dinaungi oleh para malaikat, dipenuhi oleh rahmat Allah dan mereka diberikan ketenangan hati, juga Allah menyebut-nyebut nama mereka itu dihadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya”. (At Targhib wat Tarhib, II: 404)
5 Minahus Saniyyah, Abd. Wahab as Sya’rani.
Sumber Tarekat Al-Idrisiyyah.
***********************************
Hidup tidak pernah membatasi, tapi kita lah yang selalu membatasi hidup.
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar