Beliau lahir pada di Jakarta, pada tanggal 7 April 1952 M / 12 Rajab 1370 H. Ibunda beliau bernama Siti Aminah binti H. Muh. Darsu. Sejak kecil beliau sudah berpisah dari orang tuanya, beliau diasuh oleh Kakeknya. Melalui kakeknya inilah beliau diajarkan menghadapi realita kehidupan yang cukup keras. Setelah begitu lama beliau bersama kakeknya, suatu ketika sang Kakek menunjukkan kepada beliau bahwa orang tuannya adalah seorang Guru, sambil mengisyaratkan kepada Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan yang sedang mengajar di Masjid Al-Fattah Jakarta.
Pada saat kabar itu disampaikan, spontanitas dalam hati Muhammad Daud kecil mengatakan ‘Kalau sudah besar nanti, aku harus menjadi seorang Guru seperti Bapakku’.
Tidak banyak, bahkan tidak ada yang menduga bahwa beliau yang dipanggil ‘Abah Anom’[1] oleh Ayahanda-nya, akan menjadi penerus perjalanan kepemimpinan Thariqat ini.
Sebenarnya, menurut penuturan beliau sendiri beberapa kejadian aneh sejak kecil sudah dialami beliau. Di antaranya diselamatkan oleh kekuatan ghaib ketika terjadi kecelakaan, sehingga menyebabkan beliau yang waktu itu masih kecil sudah berada di bawah mobil VW ‘kodok’. Namun kejadian itu tidak membuat beliau celaka sedikitpun, padahal body VW itu begitu rendah dengan dasar jalan.
Satu tanda lainnya, dikisahkan bahwa ketika seseorang menanyakan siapa pengganti Bapak (Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan)? Beliau menjawab: ‘Tidak usah khawatir, sebab dia sudah ada di pangkuanmu’. (Pada saat itu orang yang bertanya sedang menggendong Asy-Syekh Al-Akbar M. Daud Dahlan kecil).
Pak Hasbullah, mengisahkan bahwa ada beberapa orang yang baru saja keluar dari kediaman Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan ra. Sudah menjadi kebiasaan beliau apabila ada orang yang baru saja datang dari kamar sang Mursyid langsung beliau hampiri dan menanyakan apa yang baru dikatakan Asy-Syekh Al-Akbar, barang kali ada hal yang terbaru yang belum ia dengar.[2]
Ketika itu ia dapatkan kisah terbaru, orang yang baru keluar tadi mengatakan bahwa Asy-Syekh Al-Akbar mengabarkan bahwa pengganti Bapak sekarang sedang ada di Saudi. Pada saat itu Asy-Syekh Al-Akbar memang sedang berada di Saudi Arabia menjadi TKI bersama isteri beliau.
Salah seorang murid pernah menatap Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan yang ada pada diri Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud Dahlan ketika beliau sedang berceramah di mimbar. Bahkan ada yang mengatakan bahwa banyak kemiripan keduanya, di antaranya gaya beliau menyampaikan nasehat.
Seorang murid yang dibukakan mata hatinya pada ketika Muh. Daud Dahlan berkhutbah di masjid, melihat sosok beliau (Muh. Daud Dahlan) berubah menjadi sosok Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan. Hal ini menunjukkan pelimpahan cahaya ruhani yang kuat kepada beliau sebagai calon pengganti Ayahandanya. Hal serupa juga diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat di Batu Tulis yang dimimpikan bahwa ketika Muh. Daud Dahlan mengajar, terjadilah perubahan wujud menjadi Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan ra.
Seorang Ustadz mendengar Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan ra. (ketika itu sedang istirahat/uzur) mengatakan bahwa pengganti beliau adalah orang yang berani. Saat itu datanglah Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud Dahlan sedang dirundung musibah, karena habis berkelahi dengan seorang aparat militer yang mengakibatkan profesinya sebagai supir bis menjadi terancam. Maka dengan titah yang diberikan oleh Guru sekaligus Ayahandanya, setelah itu beliau mulai berkonsentrasi penuh mengelola tugas yang baru saja diembannya itu, yakni sebagai Ketua Umum Yayasan Al-Idrisiyyah.
Belakangan, dengan adanya berbagai perselisihan mengenai kedudukan beliau (apakah hanya sebagai Ketua atau Mursyid), maka bertanyalah beliau kepada Ayahandanya. Maka dijawab, ‘Itu sih, terserah Abah Anom (Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud) saja!”
Dengan demikian, lega-lah apa yang menjadi kegundahan beliau, sehingga beliau mantap menjadi pemimpin sekaligus penuntun murid di atas jalan Thariqat ini.
Sebelum diberi Kepercayaan (Mandat)
Pada kenyataannya di kala masa muda dan awal menjajaki bahtera rumah tangga, beliau memiliki cita-cita yang luhur. Beliau ingin sekali mendirikan pesantren seperti ayahandanya. Juga beliau berkeinginan ingin membantu perjuangan Ayah beliau yang saat itu sedang memikul tugas memimpin pesantren. Dalam hati kecilnya, beliau ingin sekali membantu dana perjuangan dakwah Ayahnya, termasuk pembangunan pesantren yang kerap kali tersendat karena masalah dana. Untuk itu beliau ingin sekali menjadi orang yang kaya agar apa yang diharapkannya itu menjadi kenyataan.
Dengan keberadaan status pendidikan yang kurang menggembirakan, namun tekad kuat beliau berusaha dengan kemampuan yang ada mencari lapangan usaha ke mana-mana. Banyak usaha yang telah beliau geluti, dari usaha pemutaran film, pedagang, pelukis, pembuatan reklame, dsb.
Ternyata meski apa yang diusahakan bertahun-tahun itu tidak juga membawa keberhasilan, selalu ada saja rintangan yang membawa kepada kegagalan.
Hal ini dapat beliau fahami sekarang ini, bahwa seseorang yang mengerti permasalahan dunia tidak menjamin kesuksesan menghampirinya. Walaupun aspek duniawinya itu diniatkan untuk akhirat sekalipun. Karena Allah lebih mengerti kondisi ke depan bagi hamba-Nya, apakah kondisi keberhasilan itu dapat membawa maslahat atau tidak.
Sedangkan Allah menyempurnakan ganjaran bagi orang yang mukmin berupa keberhasilan duniawi bagi orang kafir, tanpa dirugikan sedikitpun. Dan orang-orang yang beriman akan memetik apa yang diusahakannya berupa pahala yang diganjar berlipat ganda dan abadi di akhirat nanti.
Allah menilai seorang hamba bukan karena kesuksesannya di dunia, namun seberapa tinggi tingkat perjuangan atau kesungguhannya dalam menjalankan apa yang diperintahkan-Nya, itulah yang menjadi barometer kedudukannya di sisi Allah.
Oleh karenanya pernah beliau melukiskan sebuah kisah di mana ada seorang Ayah memerintahkan anaknya yang baru kecil (balita) agar mengangkat sebuah barbel (besi) yang hanya bisa diangkat oleh orang dewasa di dalam rumahnya. Saat itu juga anak kecil yang belum mengerti apa itu barbel, dengan segera meninggalkan aktivitas bermainnya dan berjalan menuju barbell tadi. Begitu ia mengangkat barbel tadi, si anak berteriak, ‘Paak, belaat (berat)!’
Sang Ayah tentu tidak marah karena ia tahu bahwa anaknya tidak akan kuat mengangkatnya. Namun, ia tersenyum karena apa yang diperintahkannya segera disambutnya dengan penuh semangat, tanpa menghiraukan apakah ia sanggup atau tidak.
Begitulah, kisah tersebut menjadi acuan beliau ketika baru mendapatkan kepercayaan yang dirasa berat untuk memikulnya. Namun semangat keinginan yang besar untuk melaksanakan apa yang ditugaskan Guru sekaligus Ayahandanya itu menjadi bekal kepemimpinannya di kemudian hari.
Rekonstruksi Pemahaman
Mengawali kepemimpinan beliau, banyak buah pemikiran lahir mewarnai sikap kebijakan yang beliau terapkan. Hujaman ide demi ide beliau bagai air bah yang menerjang tatanan aplikasi keagamaan yang sudah mapan. Banyak uraian beliau yang menolak dengan tegas pendapat yang keliru tentang thariqat atau secara umum menepis kesalahpahaman beraqidah pada umat Islam. Kalau di masa kepemimpinan Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan memunculkan istilah ‘semua orang berthariqat’, maka di masa kepemimpinan beliau istilah thariqat sebenarnya identik dengan agama (Islam) itu sendiri, bukan dalam arti semua agama itu sama.
Islam, menurut beliau, adalah sistem - jalan – metode – cara, yang secara harfiyah bergandengan dengan makna agama itu sendiri (ketidak kacauan) yang mempunyai sistem yang lurus.
Sistem kinerja kehidupan yang lurus akan membawa keridhaan Allah sebagai mana permohonan setiap muslim dalam sholatnya (Ihdinash shirootol mustaqiim). Sistem inilah yang dinamakan manajemen Ilahiyyah, yang merupakan birokrasi (wasilah) yang telah Allah tata sedemikian rupa melalui jalur-jalur utusan-Nya yang telah ditentukan setiap zamannya.
Allah memerintahkan kita memegang teguh tali-Nya, dan tidak melepaskan diri dari tali tersebut. Dalam Al-Quran tali yang dimaksud adalah Hablillaah. Hablillaah ini menunjuk kepada keberadaan Birokrasi Ilahiyyah.
Thariqat merupakan bentuk kemasan saja atau salinan Dinul Islam. Thariqat merupakan sajian metode keislaman gaya terbaru, yang mengikuti perkembangan zaman. Karena segala kebijakan seorang Khalifah (pemimpin) Islam bersesuaian dengan situasi dan kondisi global yang terjadi di masanya.
Beliau mengibaratkan Islam itu ibarat singkong yang disajikan dalam berbagai bentuk dan rasa. Ada yang mengolahnya menjadi singkong goreng, rebus, kolak, kue bolu, atau tape, atau getuk, dsb. Orang yang melihat bentuknya akan merasa tidak percaya kalau panganan tersebut berasal dari singkong. Konsep perjalanan pemahaman dan aplikasi ajaran Islam sebenarnya mirip konsep Ijtihad ‘pengolahan singkong’ ini. Bahkan Nabi Saw mengisyaratkan bahwa jika seseorang salah melakukan ijtihad akan mendapatkan satu pahala.
Thariqat juga tidak bersifat khususiyyah yang diperuntukkan bagi kalangan tertentu dari umat Islam. Bahkan misi ajaran yang diemban Khalifah adalah mengikuti metode kepemimpinan Nabi Saw yang membawa kedamaian seluruh umat manusia (Rahmatan lil ‘Aalamiin).
Sebagai jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah, orang yang melakukan thariqat tidak dibenarkan meninggalkan syari’at, bahkan pelaksanaan thariqat merupakan pelaksanaan syari’at agama. Oleh karena itu, melakukan thariqat tidak bisa sembarangan. Orang yang berthariqat harus dibimbing oleh Guru yang disebut Mursyid (pembimbing) atau Syekh. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah serta ruhaniyah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi ‘perantara’ antara murid dan Allah dalam beribadah. Rasulullah Saw bersabda: ‘Hendaklah engkau bersama Allah, dan jika tiada mampu, maka jadikan dirimu bersama-sama dengan orang-orang yang bersama Allah (‘Arif Billah). Dan sesungguhnya dia akan menyampaikan engkau kepada Allah, jika engkau bersamanya’. (HR. Abu Dawud).
Memahami Karamah
Seiring dengan penguraian Aqidah yang lurus, yang sering beliau tekankan kepada murid-muridnya, bahwa tidak boleh manusia menduduki apa yang merupakan maqam Khaliqnya, Allah Swt.
Manusia bukan mencipta, tapi ia mengolah. Manusia tidak kaya, tapi dikayakan. Kita bukan pintar, tapi dipintarkan, dan seterusnya.
Maka, demikian pula seorang yang dianggap Wali Allah lebih disiplin dalam menempatkan kedudukan tersebut pada maqamnya yang benar. Sehingga ia tidak merasa memiliki karamah. Demikian pula para Nabi tidak memiliki mukjizat. Akan tetapi karamah maupun mukjizat, keduanya adalah milik Allah semata.
Apabila seorang Wali merasa mempunyai karamah, maka ia dapat mengeluarkan karamah tersebut semaunya, kapanpun bila ia mau.
Apabila Nabi Musa merasa mempunyai mukjizat, tentu ia akan mengeluarkannya pada saat ia terdesak musuh-musuhnya. Ia akan membelah lautan di manapun ia ingin. Nabi-nabi yang lainpun akan mengeluarkan mukjizat-mukjizatnya sehingga tidak akan ada penderitaan dalam hidupnya dan perjuangan dakwahnya akan mulus tanpa adanya rintangan yang berarti.
Maka, seorang Khalifah Rasul yang sering menjadi tumpuan madad bagi murid-muridnya pun demikian. Ia tidak merasa memiliki berbagai karamah yang sering ditampakkan dan diperumpakan oleh murid-muridnya.
Pada saat seorang murid mengalami keajaiban ruhani Syekh-nya itu, ia tidak merasa ruhani tersebut adalah ruhani dirinya. Akan tetapi itu merupakan kehendak Allah semata yang mewujud kepada sosok ruhani Sang Mursyid. Keajaiban ruhani seorang Sulthan Awliya adalah rekayasa Allah Swt, agar timbul benih keyakinan dan mahabbah kepada para Utusan-Nya.
Al-Quran mengisahkan kepada kita bahwa pada zaman dahulu ada beberapa Rasul yang dituntut memperlihatkan bukti kerasulannya berupa mukjizat, namun ia tidak merasa memiliki karunia mukjizat itu, melainkan dengan izin Allah.
Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata!
Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal”. (QS. Ibrahim[14]: 10-11)
Dalam ayat lainnya dikatakan:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d[13]: 38)
(Dikutip dari Buku ‘Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah’)
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Mungkin sebutan ini disebabkan karena secara selintas wajah beliau ada kemiripan dengan Abah Anom Shohibul Wafa’, pimpinan Ponpes. TQN Suryalaya.
[2] Kebiasaan ini juga terjadi di masa Nabi Saw, di mana para sahabat menanyakan perihal apa saja yang baru disabdakan oleh Rasulullah kepada mereka yang baru keluar dari kunjungannya kepada Rasulullah Saw.
Pada saat kabar itu disampaikan, spontanitas dalam hati Muhammad Daud kecil mengatakan ‘Kalau sudah besar nanti, aku harus menjadi seorang Guru seperti Bapakku’.
Tidak banyak, bahkan tidak ada yang menduga bahwa beliau yang dipanggil ‘Abah Anom’[1] oleh Ayahanda-nya, akan menjadi penerus perjalanan kepemimpinan Thariqat ini.
Sebenarnya, menurut penuturan beliau sendiri beberapa kejadian aneh sejak kecil sudah dialami beliau. Di antaranya diselamatkan oleh kekuatan ghaib ketika terjadi kecelakaan, sehingga menyebabkan beliau yang waktu itu masih kecil sudah berada di bawah mobil VW ‘kodok’. Namun kejadian itu tidak membuat beliau celaka sedikitpun, padahal body VW itu begitu rendah dengan dasar jalan.
Satu tanda lainnya, dikisahkan bahwa ketika seseorang menanyakan siapa pengganti Bapak (Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan)? Beliau menjawab: ‘Tidak usah khawatir, sebab dia sudah ada di pangkuanmu’. (Pada saat itu orang yang bertanya sedang menggendong Asy-Syekh Al-Akbar M. Daud Dahlan kecil).
Pak Hasbullah, mengisahkan bahwa ada beberapa orang yang baru saja keluar dari kediaman Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan ra. Sudah menjadi kebiasaan beliau apabila ada orang yang baru saja datang dari kamar sang Mursyid langsung beliau hampiri dan menanyakan apa yang baru dikatakan Asy-Syekh Al-Akbar, barang kali ada hal yang terbaru yang belum ia dengar.[2]
Ketika itu ia dapatkan kisah terbaru, orang yang baru keluar tadi mengatakan bahwa Asy-Syekh Al-Akbar mengabarkan bahwa pengganti Bapak sekarang sedang ada di Saudi. Pada saat itu Asy-Syekh Al-Akbar memang sedang berada di Saudi Arabia menjadi TKI bersama isteri beliau.
Salah seorang murid pernah menatap Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan yang ada pada diri Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud Dahlan ketika beliau sedang berceramah di mimbar. Bahkan ada yang mengatakan bahwa banyak kemiripan keduanya, di antaranya gaya beliau menyampaikan nasehat.
Seorang murid yang dibukakan mata hatinya pada ketika Muh. Daud Dahlan berkhutbah di masjid, melihat sosok beliau (Muh. Daud Dahlan) berubah menjadi sosok Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan. Hal ini menunjukkan pelimpahan cahaya ruhani yang kuat kepada beliau sebagai calon pengganti Ayahandanya. Hal serupa juga diungkapkan oleh seorang tokoh masyarakat di Batu Tulis yang dimimpikan bahwa ketika Muh. Daud Dahlan mengajar, terjadilah perubahan wujud menjadi Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan ra.
Seorang Ustadz mendengar Asy-Syekh Al-Akbar Muhammad Dahlan ra. (ketika itu sedang istirahat/uzur) mengatakan bahwa pengganti beliau adalah orang yang berani. Saat itu datanglah Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud Dahlan sedang dirundung musibah, karena habis berkelahi dengan seorang aparat militer yang mengakibatkan profesinya sebagai supir bis menjadi terancam. Maka dengan titah yang diberikan oleh Guru sekaligus Ayahandanya, setelah itu beliau mulai berkonsentrasi penuh mengelola tugas yang baru saja diembannya itu, yakni sebagai Ketua Umum Yayasan Al-Idrisiyyah.
Belakangan, dengan adanya berbagai perselisihan mengenai kedudukan beliau (apakah hanya sebagai Ketua atau Mursyid), maka bertanyalah beliau kepada Ayahandanya. Maka dijawab, ‘Itu sih, terserah Abah Anom (Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Daud) saja!”
Dengan demikian, lega-lah apa yang menjadi kegundahan beliau, sehingga beliau mantap menjadi pemimpin sekaligus penuntun murid di atas jalan Thariqat ini.
Sebelum diberi Kepercayaan (Mandat)
Pada kenyataannya di kala masa muda dan awal menjajaki bahtera rumah tangga, beliau memiliki cita-cita yang luhur. Beliau ingin sekali mendirikan pesantren seperti ayahandanya. Juga beliau berkeinginan ingin membantu perjuangan Ayah beliau yang saat itu sedang memikul tugas memimpin pesantren. Dalam hati kecilnya, beliau ingin sekali membantu dana perjuangan dakwah Ayahnya, termasuk pembangunan pesantren yang kerap kali tersendat karena masalah dana. Untuk itu beliau ingin sekali menjadi orang yang kaya agar apa yang diharapkannya itu menjadi kenyataan.
Dengan keberadaan status pendidikan yang kurang menggembirakan, namun tekad kuat beliau berusaha dengan kemampuan yang ada mencari lapangan usaha ke mana-mana. Banyak usaha yang telah beliau geluti, dari usaha pemutaran film, pedagang, pelukis, pembuatan reklame, dsb.
Ternyata meski apa yang diusahakan bertahun-tahun itu tidak juga membawa keberhasilan, selalu ada saja rintangan yang membawa kepada kegagalan.
Hal ini dapat beliau fahami sekarang ini, bahwa seseorang yang mengerti permasalahan dunia tidak menjamin kesuksesan menghampirinya. Walaupun aspek duniawinya itu diniatkan untuk akhirat sekalipun. Karena Allah lebih mengerti kondisi ke depan bagi hamba-Nya, apakah kondisi keberhasilan itu dapat membawa maslahat atau tidak.
Sedangkan Allah menyempurnakan ganjaran bagi orang yang mukmin berupa keberhasilan duniawi bagi orang kafir, tanpa dirugikan sedikitpun. Dan orang-orang yang beriman akan memetik apa yang diusahakannya berupa pahala yang diganjar berlipat ganda dan abadi di akhirat nanti.
Allah menilai seorang hamba bukan karena kesuksesannya di dunia, namun seberapa tinggi tingkat perjuangan atau kesungguhannya dalam menjalankan apa yang diperintahkan-Nya, itulah yang menjadi barometer kedudukannya di sisi Allah.
Oleh karenanya pernah beliau melukiskan sebuah kisah di mana ada seorang Ayah memerintahkan anaknya yang baru kecil (balita) agar mengangkat sebuah barbel (besi) yang hanya bisa diangkat oleh orang dewasa di dalam rumahnya. Saat itu juga anak kecil yang belum mengerti apa itu barbel, dengan segera meninggalkan aktivitas bermainnya dan berjalan menuju barbell tadi. Begitu ia mengangkat barbel tadi, si anak berteriak, ‘Paak, belaat (berat)!’
Sang Ayah tentu tidak marah karena ia tahu bahwa anaknya tidak akan kuat mengangkatnya. Namun, ia tersenyum karena apa yang diperintahkannya segera disambutnya dengan penuh semangat, tanpa menghiraukan apakah ia sanggup atau tidak.
Begitulah, kisah tersebut menjadi acuan beliau ketika baru mendapatkan kepercayaan yang dirasa berat untuk memikulnya. Namun semangat keinginan yang besar untuk melaksanakan apa yang ditugaskan Guru sekaligus Ayahandanya itu menjadi bekal kepemimpinannya di kemudian hari.
Rekonstruksi Pemahaman
Mengawali kepemimpinan beliau, banyak buah pemikiran lahir mewarnai sikap kebijakan yang beliau terapkan. Hujaman ide demi ide beliau bagai air bah yang menerjang tatanan aplikasi keagamaan yang sudah mapan. Banyak uraian beliau yang menolak dengan tegas pendapat yang keliru tentang thariqat atau secara umum menepis kesalahpahaman beraqidah pada umat Islam. Kalau di masa kepemimpinan Asy-Syekh Al-Akbar Muh. Dahlan memunculkan istilah ‘semua orang berthariqat’, maka di masa kepemimpinan beliau istilah thariqat sebenarnya identik dengan agama (Islam) itu sendiri, bukan dalam arti semua agama itu sama.
Islam, menurut beliau, adalah sistem - jalan – metode – cara, yang secara harfiyah bergandengan dengan makna agama itu sendiri (ketidak kacauan) yang mempunyai sistem yang lurus.
Sistem kinerja kehidupan yang lurus akan membawa keridhaan Allah sebagai mana permohonan setiap muslim dalam sholatnya (Ihdinash shirootol mustaqiim). Sistem inilah yang dinamakan manajemen Ilahiyyah, yang merupakan birokrasi (wasilah) yang telah Allah tata sedemikian rupa melalui jalur-jalur utusan-Nya yang telah ditentukan setiap zamannya.
Allah memerintahkan kita memegang teguh tali-Nya, dan tidak melepaskan diri dari tali tersebut. Dalam Al-Quran tali yang dimaksud adalah Hablillaah. Hablillaah ini menunjuk kepada keberadaan Birokrasi Ilahiyyah.
Thariqat merupakan bentuk kemasan saja atau salinan Dinul Islam. Thariqat merupakan sajian metode keislaman gaya terbaru, yang mengikuti perkembangan zaman. Karena segala kebijakan seorang Khalifah (pemimpin) Islam bersesuaian dengan situasi dan kondisi global yang terjadi di masanya.
Beliau mengibaratkan Islam itu ibarat singkong yang disajikan dalam berbagai bentuk dan rasa. Ada yang mengolahnya menjadi singkong goreng, rebus, kolak, kue bolu, atau tape, atau getuk, dsb. Orang yang melihat bentuknya akan merasa tidak percaya kalau panganan tersebut berasal dari singkong. Konsep perjalanan pemahaman dan aplikasi ajaran Islam sebenarnya mirip konsep Ijtihad ‘pengolahan singkong’ ini. Bahkan Nabi Saw mengisyaratkan bahwa jika seseorang salah melakukan ijtihad akan mendapatkan satu pahala.
Thariqat juga tidak bersifat khususiyyah yang diperuntukkan bagi kalangan tertentu dari umat Islam. Bahkan misi ajaran yang diemban Khalifah adalah mengikuti metode kepemimpinan Nabi Saw yang membawa kedamaian seluruh umat manusia (Rahmatan lil ‘Aalamiin).
Sebagai jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah, orang yang melakukan thariqat tidak dibenarkan meninggalkan syari’at, bahkan pelaksanaan thariqat merupakan pelaksanaan syari’at agama. Oleh karena itu, melakukan thariqat tidak bisa sembarangan. Orang yang berthariqat harus dibimbing oleh Guru yang disebut Mursyid (pembimbing) atau Syekh. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah serta ruhaniyah dan pergaulan sehari-hari. Bahkan ia menjadi ‘perantara’ antara murid dan Allah dalam beribadah. Rasulullah Saw bersabda: ‘Hendaklah engkau bersama Allah, dan jika tiada mampu, maka jadikan dirimu bersama-sama dengan orang-orang yang bersama Allah (‘Arif Billah). Dan sesungguhnya dia akan menyampaikan engkau kepada Allah, jika engkau bersamanya’. (HR. Abu Dawud).
Memahami Karamah
Seiring dengan penguraian Aqidah yang lurus, yang sering beliau tekankan kepada murid-muridnya, bahwa tidak boleh manusia menduduki apa yang merupakan maqam Khaliqnya, Allah Swt.
Manusia bukan mencipta, tapi ia mengolah. Manusia tidak kaya, tapi dikayakan. Kita bukan pintar, tapi dipintarkan, dan seterusnya.
Maka, demikian pula seorang yang dianggap Wali Allah lebih disiplin dalam menempatkan kedudukan tersebut pada maqamnya yang benar. Sehingga ia tidak merasa memiliki karamah. Demikian pula para Nabi tidak memiliki mukjizat. Akan tetapi karamah maupun mukjizat, keduanya adalah milik Allah semata.
Apabila seorang Wali merasa mempunyai karamah, maka ia dapat mengeluarkan karamah tersebut semaunya, kapanpun bila ia mau.
Apabila Nabi Musa merasa mempunyai mukjizat, tentu ia akan mengeluarkannya pada saat ia terdesak musuh-musuhnya. Ia akan membelah lautan di manapun ia ingin. Nabi-nabi yang lainpun akan mengeluarkan mukjizat-mukjizatnya sehingga tidak akan ada penderitaan dalam hidupnya dan perjuangan dakwahnya akan mulus tanpa adanya rintangan yang berarti.
Maka, seorang Khalifah Rasul yang sering menjadi tumpuan madad bagi murid-muridnya pun demikian. Ia tidak merasa memiliki berbagai karamah yang sering ditampakkan dan diperumpakan oleh murid-muridnya.
Pada saat seorang murid mengalami keajaiban ruhani Syekh-nya itu, ia tidak merasa ruhani tersebut adalah ruhani dirinya. Akan tetapi itu merupakan kehendak Allah semata yang mewujud kepada sosok ruhani Sang Mursyid. Keajaiban ruhani seorang Sulthan Awliya adalah rekayasa Allah Swt, agar timbul benih keyakinan dan mahabbah kepada para Utusan-Nya.
Al-Quran mengisahkan kepada kita bahwa pada zaman dahulu ada beberapa Rasul yang dituntut memperlihatkan bukti kerasulannya berupa mukjizat, namun ia tidak merasa memiliki karunia mukjizat itu, melainkan dengan izin Allah.
Berkata rasul-rasul mereka: "Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan) mu sampai masa yang ditentukan?" Mereka berkata: "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata!
Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal”. (QS. Ibrahim[14]: 10-11)
Dalam ayat lainnya dikatakan:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d[13]: 38)
(Dikutip dari Buku ‘Biografi Tokoh-tokoh Al-Idrisiyyah’)
--------------------------------------------------------------------------------
[1] Mungkin sebutan ini disebabkan karena secara selintas wajah beliau ada kemiripan dengan Abah Anom Shohibul Wafa’, pimpinan Ponpes. TQN Suryalaya.
[2] Kebiasaan ini juga terjadi di masa Nabi Saw, di mana para sahabat menanyakan perihal apa saja yang baru disabdakan oleh Rasulullah kepada mereka yang baru keluar dari kunjungannya kepada Rasulullah Saw.
******************************
Hidup tidak pernah membatasi, tapi kita lah yang selalu membatasi hidup.
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar