Petikkan buah pemikiran dari Kitab al-Munqidz min adh-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan) karya Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad Al-Ghazali Ra. (bagian pertama)
MUKADIMAH
Ketahuilah, bahwa perbedaan dalam soal agama, mazhab dan pemikiran adalah laksana samudra yang dalam lagi ganas. Masing2 golongan saling membanggakan diri, seperti dikatakan Al-Qur’an;
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”(Al-Mu’minuun.53),
padahal tiap2 golongan itu tiada banyak yang selamat, sesuai sabda Nabi SAW;
“Umatku akan pecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang selamat”.
Sejak sangat muda, kurang dari 20 tahun, sampai lebih dari 50 tahun kini, tidak hentinya aku menyelami samudera luas ini. Aku selidiki setiap kepercayaan, aku dalami setiap mazhab, dan aku kaji setiap ajaran untuk membuktikan mana yang benar;Bathiniyyah, Zhahiriyyah, Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Tidak ketinggalan pula kaum Zindiq (sembunyikan kekufuran, tanpakkan keimanan) dan Mu’athil (kaum yang menafikan sifat2 Tuhan).
Aku senantiasa haus untuk mencari haqekat segala sesuatu. Bukan atas kemauanku sendiri, tetapi sudah merupakan fitrah dari Tuhan. Sedemikian, sehinga aku terlepas dari belenggu taqlid dan tidak terjerat pada kepercayaan2 yang sudah mentradisi, walau usiaku masih sangat muda; suatu masa ketika seorang anak umumnya belum lepas dari pengaruh orangtuanya, sesuai hadist:
“Setiap anak lahir dalam kondisi fitrah. Orangtuanya yang membuat ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”
Aku ingin tahu, apa fitrah asli pada anak, juga kepercayaan yang muncul akibat taqlid pada orangtuanya dan guru. Untuk itu pertama2, aku mencari pengetahuan tentang haqekat segala sesuatu. Apa arti pengetahuan? Pengetahuan atau ilmu adalah sesuatu yang dengannya apa2 yang diketahui tersingkap dengan jelas tanpa ada keraguan ataupun salah. Ia harus bisa menumbuhkan keyakinan sedemikian rupa, sehingga kalaupun ada seorang yang hebat (misalnya) yang mampu merubah tongkat menjadi ular, keyakinan tersebut tidak tergoyahkan. Pengetahuan seperti inilah yang benar. Jika tidak maka pengetahuan tersebut tidak bisa dipercaya atau tidak bisa menjadi pegangan.
-------------@@@@@@----------
I. DALAM KERAGUAN
Ternyata, aku tidak mempunyai pengetahuan yang meyakinkan sebagaimana yang telah aku jelaskan, kecuali pengetahuan dari hasil pengamatan indera dan hukum2 rasional. Dengan demikian, segala persoalan rumit harus dipecahkan lewat pengamatan indera atau rasio. Akan tetapi aku ragu, apakah indera bisa dipercaya mengingat mata yang merupakan organ terkuat dari indera terkadang juga menipu. Misalnya, bayang2 yang oleh mata tampak diam, tidak bergerak, ternyata tidak demikian. Ia bergerak sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya bergeser sama sekali dari tempat asalnya. Begitu pula bintang2 yang tampak kecil, ternyata berdasarkan ilmu alam amat besar, bahkan ada yang melebihi bumu kita. Hukum indera kita batal oleh bukti2 yang tak terbantahkan.
Sekarang tidak ada yang bisa diandalkan kecuali pengertian2 logis, seperti bilangan 10 lebih banyak daripada 3, larangan tidak akan bersatu dengan perintah, yang hadist tidak mungkin sekaligus qadim, yang ada tidak mungkin tiada pada waktu bersamaan, dan yang bersifat pasti tidak mungkin mustahil.
Akan tetapi hokum indera memprotes. Bagaimana anda bisa memastikan bahwa hokum rasional lebih kuat dari hukum indera? Dahulu anda percaya hukum indera, kemudian mendustakannya karena ada hokum rasio. Andaikata hokum rasio tidak muncul, anda tentu tetap percaya kepada indera. Siapa tahu, pada saatnya nanti, akan muncul hokum lain yang bisa mematahkan kekuatan rasio. Saat ini memang belum (pada masa kehidupan Al-Ghazali), tetapi itu tidak berarti tidak mungkin.
Aku termenung ragu2. hokum indera meperkuat protesnya dengan mengemukakan soal mimpi. Tidakkah anda menyaksikan dalam mimpi, bahwa hal itu benar2 terjadi? Namun, saat terbangun, anda sadar bahwa itu hanya ilusi belaka. Boleh jadi, apa yang anda yakini sekarang, yang berhubungan dengan indera atau rasio, sebenarnya hanya berhubungan dengan kondisi saat ini saja. Ketika dalam kondisi lain yang “lebih sadar”, anda akan insyaf bahwa itu hanya mimpi. Dalam tingkat yang lebih tinggi, mungkin ini sama seperti yang dialami kaum sufi ketika pada kondisi tertentu mereka menyaksikan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan hokum rasio. Atau, dalam kondisi yang lebih sadar lagi, seperti dikatakan Rasul;
“Manusia semuanya tertidur. Jika mati, mereka terjaga.”
Maksudnya kehidupan dunia ini pada haqekatnya hanyalah mimpi jika dibandingkan akherat. Jika mati, tampak segala sesuatu berbeda dengan yang disaksikan sekarang, firmanNya;
“Sesungguhnya kamu berada dalam Keadaan lalai dari (hal) ini, Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu Amat tajam.”(Qaaf.22)
Keraguan itu semakin menghawatirkan dan menyesakkan. Sulit aku menghilangkannya kecuali atas bukti dan argumentasi yang kuat;padahal, tidak mungkin menyusun argumentasi kecuali dengan hukum2 yang logis. Jika usaha terakhir ini tidak bisa diterima, maka tertutuplah jalan menuju kebenaran.
Hampir dua bulan aku diliputi keragu-raguan ini dan kondisiku tidak ubahnya seperti kaum filosof (filosof Yunani). Alhamdulillah, Allah berkenan menyembuhkan hatiku dengan pancaran CahayaNya. Pikiranku kembali jernih dan seimbang, mampu menerima pengertian2 yang logis. Nur Ilahi itulah yang akhirnya sebagai kunci pembukanya, termasuk untuk mencapai ma’rifat, bukan susunan argumentasi yang logis.
Karena itu, siapa yang menyatakan bahwa alam gaib bisa terbuka dengan dalil2 rasional, ia berarti telah menyempitkan rahmat Tuhan yang luas. Ingatlah, ketika ditanya makna “lapang” dalam ayat Siapa yang hendak diberi petunjuk, dilapangkan dadanya untuk menerima Islam, Rasul menjawab,”itulah cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam dada manusia.” Apa tandanya? “menjauhi dunia semu dan hanya menghadapkan diri pada keabadian,” jawab Rasul. Demikian pula yang dimaksud Rasul dalam sabdanya;
“Sungguh Allah telah menciptakan makhlukNya dalam kegelapan, kemudian Dia percikkan kepada mereka secercah dari CahayaNya.”
Cahaya itulah yang mesti dicari untuk mencapai kasyaf. Suatu cahaya yang memancar pada saat2 tertentu, semata2 atas kemurahan Ilahi; sehingga kita harus terus berjaga untuk menyongsongnya, seperti dikatakan Rasul;
“ada saat2 tertentu bagi Tuhan untuk melimpahkan KaruniaNya. Bersiaplah kalian.”
Seluruh uraian ini aku maksudkan agar kita terus berusaha sekuat tenaga dalam mencari sesuatu sampai tidak ada lagi yang bisa dicari. Namun, apa yang telah ada (jelas) tidak perlu dicari lagi; bila dicari, justru akan menjadi samar. Siapa yang mencari sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dicari, ia akan terkecoh dalam mencari sesuatu yang harus dicari.
----------------@@@@@---------------
II. PARA PENCARI KEBENARAN
Para pencari kebenaran, menurutku, bisa dikelompokkan menjadi empat golongan;
Ahli kalam, yang mengklaim diri sebagai orang2 yang memiliki penilaian dan penalaran independen.
Kaum batiniyyah, yang menklaim diri sebagai pemilik tunggal At-Ta’lim (perintah otoritatif) dan pewaris istimewa pengetahuan dari Imam ma’sum.
Para filosof, yang menklaim diri sebagai ahli logika dan pembuktian apodeiktik.
kaum sufi, yang mengklaim diri sebagai ahli musyahadah dan mukasyafah.
Kebenaran pasti tidak bergeser dari salah satu golongan ini, sebab mereka adalah orang yang berusaha dengan sungguh2 untuk mencari kebenaran. Jika tidak, maka tidak ada lagi harapan untuk menggapainya. Tidak mungkin aku kembali ber taqlid setelah meninggalkannya. Sebab salah satu syarat untuk taqlid adalah ketidaktahuan. Jika telah paham, pecahlah kaca taqlid yang melingkupinya, yang itu tidak bisa diperbaiki dengan ditambal, misalnya, atau yang lain.
Tentang Ilmu Kalam.
Pada mula, aku kaji kitab2 yang ditulis para tokoh kalam, dan aku tulis pula beberapa kitab yang membahas persoalan kalam. Menurutku, kalam adalah disiplin ilmu yang telah mencapai tujuannya, namun bukan tujuanku. Tujuanku adalah memelihara aqidah Ahli Sunnah dan mempertahankannya dari rongrongan kaum bid’ah.
Sungguh, Allah SWT melalui RasulNya telah mengajarkan aqidah yang benar kepada para hamba, demi kebaikan mereka didunia maupun di akherat. Namun, disisi lain, setan telah membisikan sesuatu yang bertentangan dengannya dan mendorong para penganutnya untuk mempropagandakannya, sehingga menggangu aqidah yang benar. Maka, Allah menjadikan golongan ahli kalam tampil untuk membela sunnah dengan argumentasi2 yang logis, sehingga mampu membongkar kepalsuan para ahli bid’ah.
Demikianlah, maka lahir ilmu kalam dengan para pakarnya. Dan, sungguh, sebagian dari mereka benar2 telah membela aqidah Rasul dengan menjelaskan kesesatan kaum bid’ah; dengan mengambil dalil2 lawan kemudian mempergunakannya untuk melumpuhkan argumentasinya. Namun, metode seperti itu tidak banyak gunanya bagi mereka yang tidak mau menerima sesuatu kecuali yang pasti. Karena itu, metode kalam tidak memuaskan hasratku dan tidak mampu menyembuhkan penyakitku.
Walau demikian, aku akui bahwa perkembangan kalam telah mendorong seseorang untuk giat mendiskusikan haqekat sesuatu, menyelidiki rahasia substansi, aksiden, dan hukum2 yang ada pada keduanya. Akan tetapi, karena hal tersebut bukan merupakan tujuan utama kalam, pembahasannya menjadi tidak mendalam, sehingga tidak mampu melenyapkan segala keraguan saat melihat banyak golongan yang saling bertentangan, walau ada juga mereka yang merasa puas.
Aku tidak bermaksud menonjolkan diri atau menyalahkan orang yang mencari obat dan merasa puas dengan ilmu kalam. Obat memang sangat beragam sesuai dengan penyakitnya. Bisa jadi, suatu obat mujarab bagi seseorang tetapi tidak demikian bagi orang lain.
Tentang Filsafat.
Aku yakin, seseorang tidak akan mengetahui sisi lemah suatu ajaran sampai ia mempelajari secara mendalam seluk beluk ajaran yang dimaksud. Sejauh ini, belum terlihat sarjana Muslim yang mengkonsentrasikan diri pada masalah filsafat (di masa Al-Ghazali). Juga belum ada buku2 kalam yang membahas dan membantah pendapat2 kaum filosof, apalagi menguraikannya secara detail. Maka, aku sadar bahwa membantah suatu faham, sebelum memahami benar haqekat faham tersebut, hanyalah suatu kesia-siaan dan bantahan serampangan.
Aku segera mengkonsentrasikan diri untuk belajar filsafat. Aku kaji kitab2 mereka, walau tanpa bantuan guru. Aku lakukan ini di saat2 senggang dari mengajar dan menulis buku. Waktu itu, aku masih bertugas memberi kuliah pada sekitar 300 mahasiswa di Baghdad. Dan, alhamdulillah, berkat taufiq Allah, dalam waktu kurang dari dua tahun, aku telah memahami seluk beluk ilmu filsafat. Kemudian aku lanjutkan penelitian ini dengan perenungan dan pendalaman sekitar satu tahun, hingga jelas bagiku mana yang benar mana yang salah, mana yang hakiki mana yang palsu.
Tampak jelas, kaum filosof terpecah dalam berbagai mazhab dan pemikiran. Kebanyakan dari mereka tidak luput dari ancaman kekufuran dan ateisme, meski diakui ada juga yang dekat dengan kebenaran.
Golongan Filosof.
Walau terpecah dalam berbagai mazhab, secara garis besar, kaum filosof bisa dibagi tiga golongan, Dahriyyun (ateis), Thabi’iyyun (naturalis) dan Ilahiyyun (Ketuhanan).
Pertama kaum Dahriyyun, mereka adalah para filosof zaman dahulu yang mengingkari adanya Sang Maha Pencipta, adanya yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengatur. Menurut mereka, alam ini wujud dengan sendirinya, tanpa pencipta. Begitu pula binatang, muncul dari sperma dan sperma keluar dari binatang, begitu seterusnya. Mereka termasuk zindiq atau ateis.
Kedua kaum Thabi’iyyah, mereka mengkonsentrasikan diri untuk meneliti alam, tumbuhan dan terutama binatang; sehingga harus mengakui adanya Sang Maha pencipta dan Sang Maha Pengatur, setelah menyaksikan keteraturan dan keindahan alam beserta isinya. Siapa yang meneliti atonomi binatang memang tidak akan bisa mengelak untuk mengakui kesempurnaan pengetahuan Sang Pencipta; apalagi meneliti anatomi tubuh manusia. Mereka menyimpulkan bahwa susunan tubuh binatang sangat berpengaruh bagi besar kecilnya kekuatan yang dimiliki. Dan kesimpulan itu mereka perlakukan pula pada manusia. Sehingga mereka akhirnya menyimpulkan bahwa ruh manusia akan mati bersama matinya jasad, dan tidak mungkin hidup kembali. Akibatnya, mereka tidak percaya pada hari kebangkitan, surga, neraka, hisab, pahala bagi yang berbuat baik dan siksa bagi pelaku jahat. Mereka “lepas kendali” dan terjerumus pada derajat kebinatangan. Mereka juga termasuk zindiq; sebab tidak percaya pada hari pembalasan, meski percaya kepada Tuhan. Iman yang sebenarnya adalah percaya kepada Tuhan dan hari akhir.
Ketiga, kaum Ilahiyyah. Mereka golongan yang terkemudian dari dua kelompok sebelumnya, termasuk disini Socrates(399SM), Plato(347SM) dan Aristoteles(322SM). Aristoteles adalah tokoh yang telah berjasa menyusun ilmu logika dan membuat jelas ilmu2 sebelumnya. Kaum Ilahiyyah menolak ajaran kaum2 sebelumnya dan berhasil membongkar kepalsuan2 yang ada. Disisi lain, Aristoteles sendiri juga menentang ajaran Socrates, Plato dan para filosof Ilahiyyah sebelumnya, dengan metode yang sangat tepat, sehingga ia terlepas dari yang lain.
Namun demikian, Aristoteles sama sekali tidak terlepas dari noda2 bid’ah dan kekufuran para filosof yang lain. Sedemikian, sehingga kita terpaksa mengkufurkannya bersama para pengikutnya dari kalangan Muslim, seperti Ibn Sina(428H/1037M), Al-Farabi(337H/956M) yang seide; meski kedua tokoh Muslim ini telah berjasa besar menyalin filsafat Aristoteles dengan cermat.
Filsafat Aristoteles, sebagaimana disalin dua tokoh ini, bisa menjadi tiga bagian, sebagian menyebabkan kufur, sebagian menyebabkan bid’ah, dan sebagian bisa diterima.
Ilmu-ilmu Filsafat......(akan dilanjutkan kembali).
(Penulis; Insya Allah akan dilanjutkan kembali tulisan ini, semoga bisa menjadi tambahan modal dalam renungan betapa luasnya Ilmu Allah yang berlapis2, yang tiap2 lapisnya juga memiliki lapisan2 bagian2 yang berbeda, ibarat buah Jeruk, lapisan luar yang disebut lapisan kulit jeruk, kulit jeruk ini memiliki lapisan bagian luar “kulit kasar” dan bagian dalam “kulit halus”, dan dalam kulit jeruk tersebut memiliki cairan untuk melambatkan kekeringan pada buah tersebut. Kemudian lapisan isi jeruk, isi jeruk memiliki kulit halus yang melindungi isi jeruk ibarat kantong2 rahim, di dalam kantong2 isi jeruk terdapat kantong2 kecil yang ber shaf2 guna menyimpan sari pati jeruk tersebut, kemudian dalam isi jeruk juga terdapat biji bakal pertumbuhan pohon jeruk baru, biji inipun memiliki bagian lapisan, yaitu bagian calon batang pohon, calon daun dan calon akar. Mulai dari kulit, isi sampai biji, memiliki lapisan2 karakteristik atau kesifatan2 yang berbeda, yaitu yang menentukan warna, tebal tipisnya kulit, besar ukuran, dan rasa, dari tiap karakteristik tersebut berlapis lagi, yaitu tingkat dari kematangannya. Subhanallah, lillaahi maa fissamaawaati wama fil ‘ardh, ini baru urusan jeruk, apalagi lapisan2 urusan Allah, apalagi lapisan2 tentang Allah sendiri. Saudaraku, tiada aku sampaikan hal ini, kecuali untuk menunjukkan bahwa ‘ilmu Allah’ itu tidak dibatasi oleh Al-Qur’an dan tidak pula dibatasi oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadistnya, dan juga tidaklah menjadi suatu hal yang ‘tidak bisa dirubah’ dari ketetapan istihad para ulama2 terdahulu, janganlah bersikap ‘aku putuskan sekarang’ tanpa mendalami suatu permasalahannya terlebih dahulu, bersikaplah ‘aku pelajari, aku dalami, aku putuskan kemudian’. Ku sampaikan kepada mereka yang mahu memikirkannya.)
****************************
Bersambung.
Iman Prasojo (hudan Ibnul Iman’s the name of my son)
____________________________MUKADIMAH
Ketahuilah, bahwa perbedaan dalam soal agama, mazhab dan pemikiran adalah laksana samudra yang dalam lagi ganas. Masing2 golongan saling membanggakan diri, seperti dikatakan Al-Qur’an;
“Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).”(Al-Mu’minuun.53),
padahal tiap2 golongan itu tiada banyak yang selamat, sesuai sabda Nabi SAW;
“Umatku akan pecah menjadi 73 golongan, hanya satu yang selamat”.
Sejak sangat muda, kurang dari 20 tahun, sampai lebih dari 50 tahun kini, tidak hentinya aku menyelami samudera luas ini. Aku selidiki setiap kepercayaan, aku dalami setiap mazhab, dan aku kaji setiap ajaran untuk membuktikan mana yang benar;Bathiniyyah, Zhahiriyyah, Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Tidak ketinggalan pula kaum Zindiq (sembunyikan kekufuran, tanpakkan keimanan) dan Mu’athil (kaum yang menafikan sifat2 Tuhan).
Aku senantiasa haus untuk mencari haqekat segala sesuatu. Bukan atas kemauanku sendiri, tetapi sudah merupakan fitrah dari Tuhan. Sedemikian, sehinga aku terlepas dari belenggu taqlid dan tidak terjerat pada kepercayaan2 yang sudah mentradisi, walau usiaku masih sangat muda; suatu masa ketika seorang anak umumnya belum lepas dari pengaruh orangtuanya, sesuai hadist:
“Setiap anak lahir dalam kondisi fitrah. Orangtuanya yang membuat ia Yahudi, Nasrani atau Majusi”
Aku ingin tahu, apa fitrah asli pada anak, juga kepercayaan yang muncul akibat taqlid pada orangtuanya dan guru. Untuk itu pertama2, aku mencari pengetahuan tentang haqekat segala sesuatu. Apa arti pengetahuan? Pengetahuan atau ilmu adalah sesuatu yang dengannya apa2 yang diketahui tersingkap dengan jelas tanpa ada keraguan ataupun salah. Ia harus bisa menumbuhkan keyakinan sedemikian rupa, sehingga kalaupun ada seorang yang hebat (misalnya) yang mampu merubah tongkat menjadi ular, keyakinan tersebut tidak tergoyahkan. Pengetahuan seperti inilah yang benar. Jika tidak maka pengetahuan tersebut tidak bisa dipercaya atau tidak bisa menjadi pegangan.
-------------@@@@@@----------
I. DALAM KERAGUAN
Ternyata, aku tidak mempunyai pengetahuan yang meyakinkan sebagaimana yang telah aku jelaskan, kecuali pengetahuan dari hasil pengamatan indera dan hukum2 rasional. Dengan demikian, segala persoalan rumit harus dipecahkan lewat pengamatan indera atau rasio. Akan tetapi aku ragu, apakah indera bisa dipercaya mengingat mata yang merupakan organ terkuat dari indera terkadang juga menipu. Misalnya, bayang2 yang oleh mata tampak diam, tidak bergerak, ternyata tidak demikian. Ia bergerak sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya bergeser sama sekali dari tempat asalnya. Begitu pula bintang2 yang tampak kecil, ternyata berdasarkan ilmu alam amat besar, bahkan ada yang melebihi bumu kita. Hukum indera kita batal oleh bukti2 yang tak terbantahkan.
Sekarang tidak ada yang bisa diandalkan kecuali pengertian2 logis, seperti bilangan 10 lebih banyak daripada 3, larangan tidak akan bersatu dengan perintah, yang hadist tidak mungkin sekaligus qadim, yang ada tidak mungkin tiada pada waktu bersamaan, dan yang bersifat pasti tidak mungkin mustahil.
Akan tetapi hokum indera memprotes. Bagaimana anda bisa memastikan bahwa hokum rasional lebih kuat dari hukum indera? Dahulu anda percaya hukum indera, kemudian mendustakannya karena ada hokum rasio. Andaikata hokum rasio tidak muncul, anda tentu tetap percaya kepada indera. Siapa tahu, pada saatnya nanti, akan muncul hokum lain yang bisa mematahkan kekuatan rasio. Saat ini memang belum (pada masa kehidupan Al-Ghazali), tetapi itu tidak berarti tidak mungkin.
Aku termenung ragu2. hokum indera meperkuat protesnya dengan mengemukakan soal mimpi. Tidakkah anda menyaksikan dalam mimpi, bahwa hal itu benar2 terjadi? Namun, saat terbangun, anda sadar bahwa itu hanya ilusi belaka. Boleh jadi, apa yang anda yakini sekarang, yang berhubungan dengan indera atau rasio, sebenarnya hanya berhubungan dengan kondisi saat ini saja. Ketika dalam kondisi lain yang “lebih sadar”, anda akan insyaf bahwa itu hanya mimpi. Dalam tingkat yang lebih tinggi, mungkin ini sama seperti yang dialami kaum sufi ketika pada kondisi tertentu mereka menyaksikan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan hokum rasio. Atau, dalam kondisi yang lebih sadar lagi, seperti dikatakan Rasul;
“Manusia semuanya tertidur. Jika mati, mereka terjaga.”
Maksudnya kehidupan dunia ini pada haqekatnya hanyalah mimpi jika dibandingkan akherat. Jika mati, tampak segala sesuatu berbeda dengan yang disaksikan sekarang, firmanNya;
“Sesungguhnya kamu berada dalam Keadaan lalai dari (hal) ini, Maka Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu Amat tajam.”(Qaaf.22)
Keraguan itu semakin menghawatirkan dan menyesakkan. Sulit aku menghilangkannya kecuali atas bukti dan argumentasi yang kuat;padahal, tidak mungkin menyusun argumentasi kecuali dengan hukum2 yang logis. Jika usaha terakhir ini tidak bisa diterima, maka tertutuplah jalan menuju kebenaran.
Hampir dua bulan aku diliputi keragu-raguan ini dan kondisiku tidak ubahnya seperti kaum filosof (filosof Yunani). Alhamdulillah, Allah berkenan menyembuhkan hatiku dengan pancaran CahayaNya. Pikiranku kembali jernih dan seimbang, mampu menerima pengertian2 yang logis. Nur Ilahi itulah yang akhirnya sebagai kunci pembukanya, termasuk untuk mencapai ma’rifat, bukan susunan argumentasi yang logis.
Karena itu, siapa yang menyatakan bahwa alam gaib bisa terbuka dengan dalil2 rasional, ia berarti telah menyempitkan rahmat Tuhan yang luas. Ingatlah, ketika ditanya makna “lapang” dalam ayat Siapa yang hendak diberi petunjuk, dilapangkan dadanya untuk menerima Islam, Rasul menjawab,”itulah cahaya yang dipancarkan Allah ke dalam dada manusia.” Apa tandanya? “menjauhi dunia semu dan hanya menghadapkan diri pada keabadian,” jawab Rasul. Demikian pula yang dimaksud Rasul dalam sabdanya;
“Sungguh Allah telah menciptakan makhlukNya dalam kegelapan, kemudian Dia percikkan kepada mereka secercah dari CahayaNya.”
Cahaya itulah yang mesti dicari untuk mencapai kasyaf. Suatu cahaya yang memancar pada saat2 tertentu, semata2 atas kemurahan Ilahi; sehingga kita harus terus berjaga untuk menyongsongnya, seperti dikatakan Rasul;
“ada saat2 tertentu bagi Tuhan untuk melimpahkan KaruniaNya. Bersiaplah kalian.”
Seluruh uraian ini aku maksudkan agar kita terus berusaha sekuat tenaga dalam mencari sesuatu sampai tidak ada lagi yang bisa dicari. Namun, apa yang telah ada (jelas) tidak perlu dicari lagi; bila dicari, justru akan menjadi samar. Siapa yang mencari sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dicari, ia akan terkecoh dalam mencari sesuatu yang harus dicari.
----------------@@@@@---------------
II. PARA PENCARI KEBENARAN
Para pencari kebenaran, menurutku, bisa dikelompokkan menjadi empat golongan;
Ahli kalam, yang mengklaim diri sebagai orang2 yang memiliki penilaian dan penalaran independen.
Kaum batiniyyah, yang menklaim diri sebagai pemilik tunggal At-Ta’lim (perintah otoritatif) dan pewaris istimewa pengetahuan dari Imam ma’sum.
Para filosof, yang menklaim diri sebagai ahli logika dan pembuktian apodeiktik.
kaum sufi, yang mengklaim diri sebagai ahli musyahadah dan mukasyafah.
Kebenaran pasti tidak bergeser dari salah satu golongan ini, sebab mereka adalah orang yang berusaha dengan sungguh2 untuk mencari kebenaran. Jika tidak, maka tidak ada lagi harapan untuk menggapainya. Tidak mungkin aku kembali ber taqlid setelah meninggalkannya. Sebab salah satu syarat untuk taqlid adalah ketidaktahuan. Jika telah paham, pecahlah kaca taqlid yang melingkupinya, yang itu tidak bisa diperbaiki dengan ditambal, misalnya, atau yang lain.
Tentang Ilmu Kalam.
Pada mula, aku kaji kitab2 yang ditulis para tokoh kalam, dan aku tulis pula beberapa kitab yang membahas persoalan kalam. Menurutku, kalam adalah disiplin ilmu yang telah mencapai tujuannya, namun bukan tujuanku. Tujuanku adalah memelihara aqidah Ahli Sunnah dan mempertahankannya dari rongrongan kaum bid’ah.
Sungguh, Allah SWT melalui RasulNya telah mengajarkan aqidah yang benar kepada para hamba, demi kebaikan mereka didunia maupun di akherat. Namun, disisi lain, setan telah membisikan sesuatu yang bertentangan dengannya dan mendorong para penganutnya untuk mempropagandakannya, sehingga menggangu aqidah yang benar. Maka, Allah menjadikan golongan ahli kalam tampil untuk membela sunnah dengan argumentasi2 yang logis, sehingga mampu membongkar kepalsuan para ahli bid’ah.
Demikianlah, maka lahir ilmu kalam dengan para pakarnya. Dan, sungguh, sebagian dari mereka benar2 telah membela aqidah Rasul dengan menjelaskan kesesatan kaum bid’ah; dengan mengambil dalil2 lawan kemudian mempergunakannya untuk melumpuhkan argumentasinya. Namun, metode seperti itu tidak banyak gunanya bagi mereka yang tidak mau menerima sesuatu kecuali yang pasti. Karena itu, metode kalam tidak memuaskan hasratku dan tidak mampu menyembuhkan penyakitku.
Walau demikian, aku akui bahwa perkembangan kalam telah mendorong seseorang untuk giat mendiskusikan haqekat sesuatu, menyelidiki rahasia substansi, aksiden, dan hukum2 yang ada pada keduanya. Akan tetapi, karena hal tersebut bukan merupakan tujuan utama kalam, pembahasannya menjadi tidak mendalam, sehingga tidak mampu melenyapkan segala keraguan saat melihat banyak golongan yang saling bertentangan, walau ada juga mereka yang merasa puas.
Aku tidak bermaksud menonjolkan diri atau menyalahkan orang yang mencari obat dan merasa puas dengan ilmu kalam. Obat memang sangat beragam sesuai dengan penyakitnya. Bisa jadi, suatu obat mujarab bagi seseorang tetapi tidak demikian bagi orang lain.
Tentang Filsafat.
Aku yakin, seseorang tidak akan mengetahui sisi lemah suatu ajaran sampai ia mempelajari secara mendalam seluk beluk ajaran yang dimaksud. Sejauh ini, belum terlihat sarjana Muslim yang mengkonsentrasikan diri pada masalah filsafat (di masa Al-Ghazali). Juga belum ada buku2 kalam yang membahas dan membantah pendapat2 kaum filosof, apalagi menguraikannya secara detail. Maka, aku sadar bahwa membantah suatu faham, sebelum memahami benar haqekat faham tersebut, hanyalah suatu kesia-siaan dan bantahan serampangan.
Aku segera mengkonsentrasikan diri untuk belajar filsafat. Aku kaji kitab2 mereka, walau tanpa bantuan guru. Aku lakukan ini di saat2 senggang dari mengajar dan menulis buku. Waktu itu, aku masih bertugas memberi kuliah pada sekitar 300 mahasiswa di Baghdad. Dan, alhamdulillah, berkat taufiq Allah, dalam waktu kurang dari dua tahun, aku telah memahami seluk beluk ilmu filsafat. Kemudian aku lanjutkan penelitian ini dengan perenungan dan pendalaman sekitar satu tahun, hingga jelas bagiku mana yang benar mana yang salah, mana yang hakiki mana yang palsu.
Tampak jelas, kaum filosof terpecah dalam berbagai mazhab dan pemikiran. Kebanyakan dari mereka tidak luput dari ancaman kekufuran dan ateisme, meski diakui ada juga yang dekat dengan kebenaran.
Golongan Filosof.
Walau terpecah dalam berbagai mazhab, secara garis besar, kaum filosof bisa dibagi tiga golongan, Dahriyyun (ateis), Thabi’iyyun (naturalis) dan Ilahiyyun (Ketuhanan).
Pertama kaum Dahriyyun, mereka adalah para filosof zaman dahulu yang mengingkari adanya Sang Maha Pencipta, adanya yang Maha Mengetahui dan Yang Maha Mengatur. Menurut mereka, alam ini wujud dengan sendirinya, tanpa pencipta. Begitu pula binatang, muncul dari sperma dan sperma keluar dari binatang, begitu seterusnya. Mereka termasuk zindiq atau ateis.
Kedua kaum Thabi’iyyah, mereka mengkonsentrasikan diri untuk meneliti alam, tumbuhan dan terutama binatang; sehingga harus mengakui adanya Sang Maha pencipta dan Sang Maha Pengatur, setelah menyaksikan keteraturan dan keindahan alam beserta isinya. Siapa yang meneliti atonomi binatang memang tidak akan bisa mengelak untuk mengakui kesempurnaan pengetahuan Sang Pencipta; apalagi meneliti anatomi tubuh manusia. Mereka menyimpulkan bahwa susunan tubuh binatang sangat berpengaruh bagi besar kecilnya kekuatan yang dimiliki. Dan kesimpulan itu mereka perlakukan pula pada manusia. Sehingga mereka akhirnya menyimpulkan bahwa ruh manusia akan mati bersama matinya jasad, dan tidak mungkin hidup kembali. Akibatnya, mereka tidak percaya pada hari kebangkitan, surga, neraka, hisab, pahala bagi yang berbuat baik dan siksa bagi pelaku jahat. Mereka “lepas kendali” dan terjerumus pada derajat kebinatangan. Mereka juga termasuk zindiq; sebab tidak percaya pada hari pembalasan, meski percaya kepada Tuhan. Iman yang sebenarnya adalah percaya kepada Tuhan dan hari akhir.
Ketiga, kaum Ilahiyyah. Mereka golongan yang terkemudian dari dua kelompok sebelumnya, termasuk disini Socrates(399SM), Plato(347SM) dan Aristoteles(322SM). Aristoteles adalah tokoh yang telah berjasa menyusun ilmu logika dan membuat jelas ilmu2 sebelumnya. Kaum Ilahiyyah menolak ajaran kaum2 sebelumnya dan berhasil membongkar kepalsuan2 yang ada. Disisi lain, Aristoteles sendiri juga menentang ajaran Socrates, Plato dan para filosof Ilahiyyah sebelumnya, dengan metode yang sangat tepat, sehingga ia terlepas dari yang lain.
Namun demikian, Aristoteles sama sekali tidak terlepas dari noda2 bid’ah dan kekufuran para filosof yang lain. Sedemikian, sehingga kita terpaksa mengkufurkannya bersama para pengikutnya dari kalangan Muslim, seperti Ibn Sina(428H/1037M), Al-Farabi(337H/956M) yang seide; meski kedua tokoh Muslim ini telah berjasa besar menyalin filsafat Aristoteles dengan cermat.
Filsafat Aristoteles, sebagaimana disalin dua tokoh ini, bisa menjadi tiga bagian, sebagian menyebabkan kufur, sebagian menyebabkan bid’ah, dan sebagian bisa diterima.
Ilmu-ilmu Filsafat......(akan dilanjutkan kembali).
(Penulis; Insya Allah akan dilanjutkan kembali tulisan ini, semoga bisa menjadi tambahan modal dalam renungan betapa luasnya Ilmu Allah yang berlapis2, yang tiap2 lapisnya juga memiliki lapisan2 bagian2 yang berbeda, ibarat buah Jeruk, lapisan luar yang disebut lapisan kulit jeruk, kulit jeruk ini memiliki lapisan bagian luar “kulit kasar” dan bagian dalam “kulit halus”, dan dalam kulit jeruk tersebut memiliki cairan untuk melambatkan kekeringan pada buah tersebut. Kemudian lapisan isi jeruk, isi jeruk memiliki kulit halus yang melindungi isi jeruk ibarat kantong2 rahim, di dalam kantong2 isi jeruk terdapat kantong2 kecil yang ber shaf2 guna menyimpan sari pati jeruk tersebut, kemudian dalam isi jeruk juga terdapat biji bakal pertumbuhan pohon jeruk baru, biji inipun memiliki bagian lapisan, yaitu bagian calon batang pohon, calon daun dan calon akar. Mulai dari kulit, isi sampai biji, memiliki lapisan2 karakteristik atau kesifatan2 yang berbeda, yaitu yang menentukan warna, tebal tipisnya kulit, besar ukuran, dan rasa, dari tiap karakteristik tersebut berlapis lagi, yaitu tingkat dari kematangannya. Subhanallah, lillaahi maa fissamaawaati wama fil ‘ardh, ini baru urusan jeruk, apalagi lapisan2 urusan Allah, apalagi lapisan2 tentang Allah sendiri. Saudaraku, tiada aku sampaikan hal ini, kecuali untuk menunjukkan bahwa ‘ilmu Allah’ itu tidak dibatasi oleh Al-Qur’an dan tidak pula dibatasi oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadistnya, dan juga tidaklah menjadi suatu hal yang ‘tidak bisa dirubah’ dari ketetapan istihad para ulama2 terdahulu, janganlah bersikap ‘aku putuskan sekarang’ tanpa mendalami suatu permasalahannya terlebih dahulu, bersikaplah ‘aku pelajari, aku dalami, aku putuskan kemudian’. Ku sampaikan kepada mereka yang mahu memikirkannya.)
****************************
Bersambung.
Iman Prasojo (hudan Ibnul Iman’s the name of my son)
Hidup tidak pernah membatasi, tapi kita lah yang selalu membatasi hidup.
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!
2 komentar:
Assalamulaikum tuan, di mana bole saya dptkn buku yg berkaitan dengan topik ini serta terjemahannya?
Waalaikumsalam, maaf buku itu sudah cukup lama terbit, mungkin sudah sulit dicari, sedangkan buku tsb telah lama hilang.
tetapi saya coba bantu cari info di internet, alhamdulillah ada yang menuliskannya di situs ini https://isepmalik.wordpress.com/category/kitab/al-munqidz-min-adh-dhalal/
semoga berguna untuk saudara, dan diri saya.
Terima kasih atas kunjungannya.
Posting Komentar