Kisah seorang Muallaf dari Hindu
Syekh al-Akbar pada waktu Halal bil Halal mengatakan bahwa orang Islam belum tentu konsisten dengan keislamannya dan orang luar Islam belum tentu konsisten dengan apa yang diyakininya. Jika hidayah Allah datang kepada seseorang maka tidak ada kekuatan apapun yang dapat menghalanginya. Sebagai contoh adalah sebuah kisah seorang pendeta Hindu yang datang ke Pesantren Pagendingan beberapa waktu yang lalu. Kisahnya adalah sebagai berikut,
Di sebuah Pura Hindu, ada seorang Pendeta yang merasa gelisah terhadap kelakuan anaknya. Anak kesayangannya itu sejak kecil tidak memiliki gairah untuk bersama-sama beribadah di Pura bersama orang tuanya. Maklumlah apa yang dirisaukan ayahnya, karena ia merupakan salah seorang pemuka Hindu di wilayah Jawa Barat. Setelah diperhatikan, anaknya lebih cenderung mempelajari agama lain terutama Islam. Sehingga ayahnya sebagai pemuka agama di kalangan jama'ahnya perlu melakukan antisipasi agar anaknya tersebut tidak bisa berpaling kepada agama lain. Berbagai upaya dilakukan termasuk mencap atau mematok keimanan anaknya, dengan mengarahkannya kepada bimbingan agama Hindu yang dianutnya.
Sekian lama upaya itu dilakukan, namun api hasrat anaknya ini untuk keluar dari lingkungan Pura tidak juga padam. Gejolak jiwa anaknya untuk mencari kebenaran yang membawa kedamaian hatinya selama ini semakin memuncak di usia dewasa. Suatu ketika di tengah kegelisahannya itu, muncul sebuah suara kepadanya, 'Jika engkau ingin masuk Islam, carilah di sebuah kelompok jama'ah yang berjubah di wilayah Cisayong (Tasikmalaya)!'
Maka setelah mendengar suara itu ia mencari petunjuk yang dimaksud. Ia pun berkeliling wilayah Cisayong, lalu ditemukan Pesantren Fathiyyah al-Idrisiyyah yang berada tepat di sisi jalan. Ia masuk ke dalam dan mencoba bertanya kepada orang-orang yang ia jumpai. Tapi tidak satupun orang yang menggubrisnya. Ia pun berfikir 'Mungkin bukan tempat ini yang dimaksudkan suara itu'. Lalu ia keluar pesantren, menelusuri petunjuk yang ia dapatkan. Akhirnya ia berjalan ke Selatan Cisayong. Hingga sampai ke arah Galunggung. Sesampainya di sana ia bertanya kepada orang-orang setempat, di manakah pesantren yang ada orang-orang yang berjubah? Orang yang ditanya menjawab bahwa di wilayah Cisayong tidak ada lagi yang berpenampilan seperti yang ditanyakan, melainkan hanya ada di Pegendingan. Maka beranjaklah ia ke pesantren Fathiyyah al-Idrisiyyah kembali. Sesampainya di Pegendingan (setelah ia mengalami kekecewaan karena tidak ada yang mempedulikan) ia berusaha masuk lewat jalan lain, yakni lewat samping. Ketika ia melewati samping masjid, di sebelah kubah (makam) masjid ia mendengar suara memanggil-manggil. Ia berhenti sejenak melihat-lihat ke dalam kubah yang berisi banyak makam di sana. Ternyata suasana di dalam kubah membuatnya nyaman. Ia berniat beristirahat di situ, sampai akhirnya tertidur. Di dalam tidurnya ia dijumpai oleh 3 orang sosok yang menghampirinya, yaitu Nabi Khidhir As, Syekh al-Akbar Muhammad Dahlan, dan Syekh al-Akbar Abdul Fattah. Nabi Khidhir As sempat memperkenalkan diri bahwa ia adalah pemimpin Sulthan Awliya di setiap masa.
Setelah ia bangun terdengarlah azan, dan ia saksikan orang-orang berkerumun mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat. Ia bergegas ingin ikut sholat bersama. Setelah selesai, ia berkata kepada salah seorang santri yang berada di shaf belakang bahwa ia ingin masuk Islam. Oleh jama'ah ini si calon Pendeta Hindu ini dibawa ke rumah salah seorang Ajengan. Dan di rumah Ajengan inilah ia diberikan bekal keimanan dan keislaman, hingga ia bersyahadat. Prosesi syahadat inipun dilakukan berkali-kali hingga ia lancar mengucapkannya. Setelah yang ke sekian kalinya, keluarlah darah dari mulutnya. Ia pun bertanya mengapa bisa terjadi demikian. Lalu dijelaskan bahwa kekafiran itu semacam kotoran yang tidak pantas bersanding dengan kesucian iman, sehingga mesti dikeluarkan agar ia bersih menghadap kepada Khaliq dan layak memasuki rumah-Nya.
Tatkala melihat foto-foto yang terpampang di rumah Ajengan itu, ia berkata, 'Ini dia! Mereka semua adalah orang-orang yang saya jumpai saat saya mimpi di makam tadi!' Yang ia tunjuk tiada lain adalah Syekh al-Akbar, pimpinan Birokrasi Ilahiyyah.
Jakarta, 3 Oktober 2009
Salam Birokrasi Ilahiyyah.
*********************
Hidup tidak pernah membatasi, tapi kita lah yang selalu membatasi hidup.
Ayat-ayat Allah tidak dibatasi oleh kitab-kitab suci atau pun Hadist,tetapi kita lah yang selalu membatasi ayat-ayat Allah.
Tak ada Ilmu mengenal Allah sebaik Ilmu Rasa, maka belajarlah Ilmu Rasa (Tasawuf)!
2 komentar:
Bagaimana kalau saya juga tuliskan tentang kisah orang-orang yang Murtad ke agama Hindu ? Bukan hanya satu orang tetapi empat orang sekaligus. Ini bukan mengarang karena anda bisa bertemu orangnya saat ini juga ? Sanggup bro?
Silahkan boleh saja, syaratnya dengan seijin 4 orang tersebut.
Dalam Ajaran Islam, Allah itu telah memberikan kepada umat manusia untuk memilih mana jalan yang akan ditempuh, baik atau buruk, semua kembali kepada diri masing-masing.
Kita sebagai hamba-Nya hanya diperbolehkan saling memberi nasehat dan mengingatkan tentang kebenaran yang telah di yakini oleh masing-masing, sesuai batas kemampuan keilmuannya.
Saya juga menyadari, kisah orang2 yang murtad ke agama Hindu atau agama lain secara sadar belumlah seberapa dibandingkan kisah orang2 Islam yang secara tidak sadar telah berbuat murtad karena telah melakukan ibadah2 atau ritual2 agama lain..
Intinya, setiap manusia akan bertanggung jawab masing-masing di hadapan Tuhan kelak.
Posting Komentar